Adakah yang lebih bening dari suara hati, kala ia menegur kita tanpa suara. Adakah yang lebih jujur dari nurani, saat ia menyadarkan kita tanpa kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata hati, ketika ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan alpa. Ya, sebenarnya saat yang paling indah dari seluruh putaran kehidupan ini adalah saat kita mampu secara jujur dan tulus mendengar suara hati.
Sebab, dari sanalah banyak tindakan dan perilaku kita menemukan arahnya yang benar. Dari sana amal-amal dan segala proses kehidupan kita memiliki pijakannya yang kukuh; niat dan orientasi yang lurus. Begitulah Rasulullah s.a.w. menggambarkan, bahwa hati adalah panglima. Bila ia benar dan sihat, sihat pula seluruh perilaku pemiliknya. Sebaliknya, bila ia rosak, rosak pula segala tingkah laku fizikalnya.
Di dalam hati kita, di dasar sanubari kita yang paling dalam, ada kekuatan yang sangat perkasa, sekaligus sumber kedamaian yang tiada tara. Di sanalah bersemayam fitrah dan jati diri ketundukan kita – juga setiap manusia – kepada Allah SWT. Setiap manusia sejak kali pertama ditakdirkan ada, telah diikat dengan kepatuhan kepada tauhid, mengesakan Allah yang Maha Esa.
Allah SWT berfirman,
“Dan (ingat-lah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Al-Quran, Al-A’raf: 172)Fitrah kemusliman atau ketundukan itu merupakan warna asli dari keseluruhan tabiat fizikal dan batin kita. Fitrah, yang dengannya rnanusia dititahkan, memberi kita sensor diri dan pelita penerang jalan. Dalam batasan kemanusiaan, petunjuk itu diberikan oleh suara hati nurani yang jujur. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah s.a.w. pernah mengajarkan kepada seorang sahabat bagaimana cara sederhana menentukan sesuatu itu baik atau buruk; “istafti qalbaka” – “mintalah fatwa kepada hatimu”. Atau dalam kesempatan yang lain baginda mengatakan, bahwa barangsiapa yang amal baiknya membuat hatinya suka, dan amal buruknya membuat ia gelisah maka dia itu muslim.
Artinya, dalam banyak hal, semestinya seseorang dapat bertanya kepada hati nuraninya apakah sesuatu itu baik atau buruk. Manusia diberi kemampuan untuk mengetahui secara penanda aras apa saja yang layak atau tidak untuk dijalani. Manusia punya ukuran kepatutan kemanusiaan-nya.
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Al-Quran, Asy-Syams: 8)Kerananya, manusia bila pun tidak mengerti banyak tentang ajaran wahyu Allah, semestinya ia masih mampu mendengar secara tulus apa suara hati nuraninya.
Tetapi kebesaran dan sekaligus kesulitan manusia terletak pada haknya untuk memilih antara benar dan salah, berdasarkan ilham itu. Maka Allah tidak saja mencukupkan kita dengan hati nurani. Pada saat yang sama Dia menurunkan wahyu serta mengutus para Rasul untuk mengajari manusia bagaimana mengelola naluri-naluri dasarnya, sekaligus mempertajam hati nuraninya. Di sanalah berpadu antara kelurusan tujuan, dengan dasar-dasar tabiat kemanusiaan. Melalui Al-Qur’an, Islam membimbing manusia bagaimana menitik-beratkan pada hasrat hidup bermakna (the will to meaning) sebagai motif asasi. Dengan kata lain, kita harus menjalani hidup ini dengan makna yang jelas, dengan rasa berarti yang sebenar-benarnya. Teori ini amat berlawanan arah dengan teori “hasrat untuk hidup senang” (the will to pleasure) model Freudian, mahupun teori “hasrat hidup berkuasa” (the will to power) yang diagungkan Alfred Adler.
Konsistensi, stabiliti, ketenangan, kedamaian, juga kebahagiaan manusia, berbanding lurus dengan sejauh mana ia menyelaraskan diri dengan fitrahnya serta menghadapkan wajahnya ke jalan Islam. Bila manusia menyalahinya, akan menjadikan banyak unsur dalam kehidupan ini tidak berupaya berfungsi dengan baik. Akan ada banyak ketimpangan dan kejanggalan. Kehidupan tidak berjalan di atas landasan yang semestinya. Allah SWT berfirman,
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpulan tali yang kukuh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Al-Quran, Luqman: 22)Fitrah yang telah ditetapkan atas diri manusia itu tidak akan berubah. Apapun peradaban dan kemajuan yang telah dicapai manusia.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah Allah itu. Tidak ada penambahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Al-Quran, Ar-Ruum: 30)Seringkali suara hati nyaris tak terdengar, lantaran tersumbat oleh daki-daki hawa nafsu. Atau terselimuti dosa-dosa dan kemaksiatan. Mungkin, di antara kita pernah menjumpai hari-hari yang terasa gersang, kering, dan tak ada setetes pun kesegaran. Hidup seperti tak berdenyut dan nyaris tanpa ghairah. Begitulah hati menjadi air muka kita, pahit atau manisnya. Ia juga menjadi ruh kehidupan kita, redup atau terangnya. Dalam makna ini, barangkali, kita menghayati penjelasan Rasulullah, bahwa Allah tidak melihat kepada tampilan lahiriah manusia, tetapi melihat kepada isi hati mereka.
Maka, mengotori hati dengan dosa, sama artinya dengan memadamkan cahayanya, mengacaukan jernih suaranya, dan memandulkan ketajamannya. Seperti ditegaskan Rasulullah s.a.w., “Sesungguhnya, dosa-dosa itu bila terus menerus menimpa hati, maka ia akan menutupinya. Dan bila hati telah tertutup, akan datang kunci dan pateri dari Allah SWT. Bila sudah demikian, tak ada lagi baginya jalan, tidak ada jalan keimanan untuk masuk ke dalamnya, tidak juga jalan kekafiran untuk keluar darinya.”
Tidak semua orang mampu mendengar suara hatinya. Banyak orang silau dengan kehidupan yang kian berwarna. Padahal, kebersihan hati tidak saja pelita di dunia, tapi juga bekal menghadap Allah SWT. Kelak, ketika manusia diadili di hadapan Allah SWT, pada hari ketika anak dan harta tidak berguna, hanya hati yang bersihlah yang dapat menghantarkan manusia menghadap Allah,
“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Al-Quran, Asy-Syu’ara: 89)Saatnya kita sesering mungkin mendengarkan suara hati, dengan tulus, jujur dan penuh kelapangan. Suara hati kita, nurani kita, kata hati kita, adalah jati diri keaslian kita. Akankah kita mengkhianatinya?
Wallahu’alam.
SUMBER
0 komentar :
Posting Komentar