Malam itu suasana sepi, udara dingin karena sejak sore hujan turun tanpa henti sampai dengan azan Isya. Kebetulan bukan malam wirid (Selasa dan Jum’at), jadi di mesjid disamping rumah Guru Sufi jamaah shalat Isya hanya sekitar 40 orang yaitu anak muda yang memang tinggal bersama dengan Guru Sufi untuk belajar ilmu tarekat. Setelah azan isya, Guru Sufi masuk ke dalam mesjid lewat pintu dekat qubah, dan murid-murid terkejut karena selama ini jarang Guru shalat jamaah bersama mereka, sudah 3 bulan Guru berada di luar kota untuk berdakwah, menjadi imam shalat biasanya sesame mereka bergantian.
Shalat
Isya malam itu terasa beda, tenang, sejuk dan beberapa orang jamaah
menangis ketika Guru Sufi mulai membaca surah al-fatihah. Seperti shalat
isya pada umumnya, 4 rakaat dilewati seperti biasa sampai dengan salam.
Setelah selesai shalat, ada suatu yang beda dan mereka saling melirik
satu sama lain. Mereka semua mendengar suara azan di mesjid luar,
padahal azan isya sudah lama selesai. Salah seorang jamaah melihat jam
yang terpampang di sudut kanan mesjid, dan dia kaget karena jam
menunjukkan sudah masuk waktu shalat subuh. Berarti azan yang terdengar
di mesjid sekitar itu adalah azan subuh. Bagaimana mungkin sudah masuk
subuh, padahal mereka baru saja shalat Isya bersama Guru Sufi, paling
sekitar 15 menit lamanya.
Selesai
berdoa, Guru berhadapan dengan para murid, kesempatan mereka untuk
menyalami Beliau dan murid-murid berebut menyalami Gurunya. Salah
seorang murid ketika salaman memberanikan diri bertanya kepada Gurunya,
“Guru, berarti kita tadi baru saja melakukan Mikraj ya?”, Guru kemudian
mengangkat jari telunjuk ke bibir, “ssst…”, “Apa yang kalian alami mala
mini tidak usah diceritakan, cukup untuk kalian saja”. Akhirnya Guru
Sufi melanjutkan mengimami shalat subuh beserta murid-muridnya dengan
wudhuk shalat Isya, peristiwa yang terasa 15 menit ternyata berlangsung
selama lebih kurang 8 jam.
Saya
bersyukur bisa mendengar cerita langsung dari orang yang mengalami
peristiwa lebih kurang 30 tahun lalu, peristiwa shalat Isya yang luar
biasa, mengandung nilai-nilai spiritual dan mistik Islam. Nabi
mengatakan bahwa shalat sebagai mi’rajul mu’minin (Hadist Riwayat
Bukhari) yakni Mi’raj orang yang beriman. Shalat pada awalnya adalah
peristiwa spiritual, sarat makna dan nilai, seiring berjalan waktu
menjadi sebuah rutinitas layaknya mandi, makan dan berpakaian yang
dilakukan sehari-hari dan di ulang-ulang.
Bagaimana
shalat yang merupakan kegiatan spiritualitas bisa tetap mempunyai nilai
yang sama? Diperlukan seorang yang mempunyai kontak langsung dengan
Rasullullah SAW sebagai orang yang pertama sekali menerima perintah
shalat, kontak langsung secara rohani tersebut akan membuka alam
Rabbaniyah, sehingga ketika shalat rohani orang yang melaksanakan shalat
bisa langsung sampai kehadirat Allah SWT, walaupun shalat dilakukan
dalam jumlah banyak tetap menjadi nilai spiritual disana. Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang kamu
apabila dia berdiri waktu shalat ia berbicara dengan Tuhannya atau Tuhan
ada antara dia dengan kiblat”. Tanpa menyadari kehadiran Allah SWT
diantara dia dengan kiblat, maka shalat akan menjadi sebuah rutinitas,
hanya memenuhi kewajiban semata.
Hilangnya
nilai spiritual dalam ibadah tidak semata karena sering melakukan tapi
memang unsure-unsur Ketuhanan telah hilang dalam ibadah terebut karena
tidak menggunakan metode yang tepat. Sebagai contoh ibadah haji,
hakikatnya adalah ziarah ke makam Nabi, berjumpa dengan Beliau kemudian
wuquf (menunggu) kehadiran Allah di padang Arafah. Banyak pengamalan
tarekat mengalami peristiwa menakjubkan, ketika mengucapkan salam di
makam Nabi, terdengar jawaban dari dalam makam, ketika menunggu di
padang arafah, dalam tangisan mereka menyadari kehadiran Allah sangat
dekat dengan meraka. Diantara 2 juta orang yang melaksanakan ibadah haji
sebagai tamu Allah, berapa orang yang beruntung bisa berjumpa dengan
yang mengundang?
Nilai-nilai
spiritual dalam ibadah secara perlahan akan hilang diganti dengan nilai
rutinitas, apalagi shalat memang dilaksanakan sehari 5 kali, sehingga
tidak ada lagi “rasa” disana. Namun bagi hamba Allah yang sudah
mengenal-Nya, maka shalat bukan rutinitas, tapi peristiwa penuh
keajaiban, karena disitulah saat Allah menerima secara khusus hamba-Nya,
berdialog dengan mesra dan disana terjadi transfer power dari alam Maha
Dahsyat kepada hamba yang lema dhaif lagi papa, sehingga seluruh tubuh
si hamba bersinar terang dan malaikat pun silau memandangnya.
Ketika
ibadah telah hilang nilai spiritualitas dan tertinggal hanya rutinitas
tanpa makna, saatnya untuk memeriksa kembali ibadah yang kita lakukan,
memperbaiki kekurangannya. Saatnya kita belajar kepada orang yang bisa
mentransfer nilai-nilai spiritual dalam ibadah langsung dari Rasulullah
SAW, orang tersebut tidak lain adalah Para Guru Yang Mulia, Pewaris
Rasulullah SAW.
0 komentar :
Posting Komentar