Ali
adalah anak dari paman Nabi Muhammad Rasulullah Saw, yaitu Abi Thalib.
Sebut saja, Ali adalah sepupu Rasul. Abi Thalib sangat sayang kepada
Rasul. Sepeninggal orang tua Rasul, Abi Thaliblah yang merawat Rasul
bahkan selalu membela Rasul dalam memperjuangkan dakwah Islam walaupun
pada ajalnya Abi Thalib wafat bukan sebagai muslim. Rasul sangat sedih
mengenai hal itu.
Ali
sejak kecil tinggal bersama Rasul, kalau tidak salah semenjak umur Ali
tujuh tahun. Ali merupakan satu dari orang-orang yang pertama masuk
Islam dan ia adalah yang paling muda di antara yang lain. Ia termasuk
tokoh Islam atau sahabat Rasul yang sangat berpengaruh dan berjasa. Ali
adalah pemuda yang gagah, tampan, kuat dan cerdas. Bahkan Rasul pernah
berkata jikalau Rasul adalah sebuah gudang ilmu maka Alilah gerbang
untuk memasuki gudang tersebut.
Sedangkan Fatimah az-Zahra adalah putri kesayangan Rasul dari pernikahan beliau dengan Siti Khadijah binti Khuwailid. Khadijah adalah istri pertama Rasul. Seorang saudagar kaya yang cantik dan berakhlak mulia. Menurut berbagai riwayat,
Fatimah
adalah perempuan yang tegar, cantik, baik dan lembut. Sebagai anak yang
berbakti pada ayahnya, Fatimahlah yang mengurus Rasul sejak Khadijah
meninggal sampai Rasul menikah lagi. Sampai suatu ketika, saat Rasul
menjelang wafat, Fatimahlah orang yang sangat sedih jika Rasul
meninggalkannya tapi Fatimah juga adalah yang paling bahagia karena kata
Rasul setelah sepeninggal Rasul, Fatimahlah yang pertama kali akan
menyusul Rasul ke surga.
Sejak
Ali ikut tinggal bersama Rasul dan keluarganya, otomatis Ali tinggal
bersama Fatimah. Mereka berdua tinggal dan melewati hari-hari bersama
sejak kecil. Hingga menjelang remaja, tumbuhlah rasa cinta Ali kepada
Fatimah. Hatinya dipenuhi keinginan untuk selalu berada di samping
Fatimah. Tapi Ali tidak bodoh. Ia adalah pemuda yang beriman. Ali
berusaha untuk selalu menjaga hatinya. Ia pendam rasa cinta itu
bertahun-tahun. Ia simpan rasa itu jauh di dalam lubuk hatinya bahkan si
Fatimah pun tidak pernah tahu bahwa Ali menyimpan lama rasa cinta yang
luar biasa untuknya
Ada rahasia terdalam di hati seorang Ali yang tak pernah dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya,
ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu
hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang
dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh
cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah
ayahnya.
Semuanya
dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn 'Abdullah
Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis
cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka'bah. Di sana, para
pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada
Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah
waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk
menimpali. Mengagumkan!
Ali
tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak
ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar
seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan
Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak
awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu
Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu
Hingga ketika Ali telah dewasa dan telah siap untuk menikah, maka Ali pun berniat menghadap Rasul dengan tujuan ingin melamar putri Rasul yang tak lain adalah Fatimah, seorang perempuan yang sudah lama Ali kagumi. Tapi sayang, niat Ali telah didahului oleh Abu Bakar yang sudah duluan melamar Fatimah. Ali pun harus ikhlas bahwa cintanya selama ini berakhir pupus
"Allah mengujiku rupanya",
begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar.
Kedudukan
di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan
kerabat dekat Nabi seperti 'Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada
Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah
bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara 'Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di
ranjangnya.
Lihatlah
juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh
bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu
Bakar; 'Utsman, 'Abdurrahman ibn 'Auf, Thalhah, Zubair, Sa'd ibn Abi
Waqqash, Mush'ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang
pergaulan seperti 'Ali.
Lihatlah
berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela
Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, 'Abdullah ibn Mas'ud.. Dan
siapa budak yang dibebaskan 'Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang
saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
'Ali hanya seorang pemuda miskin dari keluarga miskin.
"Inilah persaudaraan dan cinta", gumam 'Ali.
"Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku."
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah SWT menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan dan memperbaiki diri. Rencana
Allah memang sulit ditebak oleh manusia, ternyata Rasul hanya diam
ketika Abu Bakar melamar putri beliau. Maksudnya, Rasul menolak secara
halus lamaran Abu Bakar. Ali pun senang. Karena masih merasa memiliki
kesempatan melamar Fatimah. Maka Ali pun bergegas ingin segera melamar
Fatimah sebelum didahului lagi.
Setelah
Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang
gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat
kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang
membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
Lagi-lagi,
hati Ali tersayat. Ali sangat bersedih. Sama seperti dengan Abu Bakar,
Ali merasa tak ada harapan lagi. Lagipula, apakah cukup dengan cinta ia
akan melamar Fatimah? Karena ia hanyalah seorang pemuda biasa yang
mengharapkan seorang putri Rasul yang luar biasa. Berbeda bila
dibandingkan dengan Umar seorang keturunan bangsawan yang gagah dan
berkharisma. Dan, Ali yakin Fatimah pasti akan bahagia bersama Umar.
'Umar
ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan
itu juga datang melamar Fathimah. 'Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah 'Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan
ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar
pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya
'Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih
dari itu, 'Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, "Aku
datang bersama Abu Bakar dan 'Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan
'Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan 'Umar.."
Betapa
tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba
bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana 'Umar melakukannya.
'Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh
yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu 'Alaihi wa
Sallam.
Maka
ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia
mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
'Umar
telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas
Ka'bah. "Wahai Quraisy", katanya. "Hari ini putera Al Khaththab akan
berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi
yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang 'Umar di balik
bukit ini!" 'Umar adalah lelaki pemberani.
'Ali,
sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang
banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah
binti Rasulillah! Tidak. 'Umar jauh lebih layak. Dan 'Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan
Disaat Ali merasakan derita cintanya, tak disangka-sangka, datanglah Abu Bakar dengan senyum indahnya. Dan memberitahu Ali untuk segera bertemu dengan Rasul karena ada yang ingin beliau sampaikan. Pikir Ali, pasti ini tentang pernikahan Umar dengan Fatimah. Sepertinya Rasul meminta Ali untuk membantu persiapan pernikahan mereka. Maka Ali pun menyemangati dirinya sendiri agar kuat dan tegar. Walaupun sebenarnya, hatinya sangat perih teriris-iris. Apalagi harus membantu mempersiapkan dan menyaksikan pujaan hatinya menikah dengan orang lain.
Disaat
Ali merasakan derita cintanya, tak disangka-sangka, datanglah Abu
Bakar dengan senyum indahnya. Dan memberitahu Ali untuk segera bertemu
dengan Rasul karena ada yang ingin beliau sampaikan. Pikir Ali, pasti
ini tentang pernikahan Umar dengan Fatimah. Sepertinya Rasul meminta Ali
untuk membantu persiapan pernikahan mereka. Maka Ali pun menyemangati
dirinya sendiri agar kuat dan tegar. Walaupun sebenarnya, hatinya sangat
perih teriris-iris. Apalagi harus membantu mempersiapkan dan
menyaksikan pujaan hatinya menikah dengan orang lain.
Menantu
macam apa kiranya yang dikehendaki sang Nabi? Yang seperti 'Utsman sang
miliarder kayakah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang
seperti Abul ’Ash ibn Rabi'kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti
Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di
antara Muhajirin hanya 'Abdurrahman ibn 'Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan
kekerabatan dengan mereka? Sa'd ibn Mu'adz kah, sang pemimpin Aus yang
tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn 'Ubaidah, pemimpin Khazraj yang
lincah penuh semangat itu?
"Mengapa
bukan engkau yang mencoba kawan?", kalimat teman-teman Ansharnya itu
membangunkan lamunannya. "Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah?
Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. "
"Akuuu.. ?",
tanyanya tak yakin.
"Ya. Engkau wahai saudaraku..."
"Aku hanya seorang pemuda miskin.
Apa yang bisa kuandalkan?
apa ia mau menerima keadaanku yg seperti ini?"
"Kami di belakangmu, kawan..
Semoga Allah menolongmu.."
'Ali
pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya
keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara
ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya
ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk
makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia
siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
"Engkau
pemuda sejati wahai 'Ali!", begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang
siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko
atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, "Ahlan wa sahlan!" Kata itu meluncur tenang bersama
senyum Sang Nabi.
Dan
ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk
bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin
Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap
ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung
beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati
sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
"Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?"
"Entahlah.."
"Apa maksudmu?"
"Menurut kalian apakah 'Ahlan wa Sahlan' berarti sebuah jawaban!"
"Dasar tolol! Tolol!", kata mereka,
"Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup
dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya.
Sahlan juga.
Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan!
Dua-duanya berarti ya !"
Setelah
Ali bertemu Rasul, tak disangka, lamaran Umar bernasib sama dengan
lamaran Abu Bakar. Bahkan Rasul menginginkan Ali untuk menjadi suami
Fatimah. Karena Rasul sudah lama tahu bahwa Ali telah lama memendam rasa
cinta kepada putrinya. Ali pun sangat bahagia dan bersyukur. Ia pun
langsung melamar Fatimah melalui Rasul. Tapi, Ali malu kepada Rasul
karena ia tak memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar. Apalagi ia selama
ini dihidupi oleh Rasul sejak kecil.
Namun,
sungguh mulia akhlak Rasul. Beliau tidak membebankan Ali. Rasul berkata
bahwa nikahilah Fatimah walaupun hanya bermahar cincin besi. Akhirnya,
Ali menyerahkan baju perangnya untuk melamar Fatimah. Rasul pun menerima
lamaran itu. Fatimah pun mematuhi ayahnya serta siap menikah dengan
Ali. Akhirnya Ali pun menikah dengan Fatimah, perempuan yang telah lama
ia cintai.
Sekarang,
Fatimah telah menjadi istri Ali. Mereka telah halal satu sama lain.
Beberapa saat setelah menikah dan siap melewati awal kehidupan bersama,
yaitu malam pertama yang indah hingga menjalani hari-hari selanjutnya
bersama, Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai suamiku Ali, aku telah
halal bagimu. Aku pun sangat bersyukur kepada Allah karena ayahku
memilihkan aku suami yang tampan, shalih, cerdas dan baik sepertimu.”
Ali
pun menjawab, “Aku pun begitu, wahai Fatimahku sayang. Aku sangat
bersyukur kepada Allah, akhirnya cintaku padamu yang telah lama kupendam
telah menjadi halal dengan ikatan suci pernikahanku denganmu.”.
Dan
'Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan
rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi
berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan
keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, 'Umar, dan
Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji
dan nanti-nanti.
“Wahai
suamiku, bolehkah aku berkata jujur padamu? Karena aku ingin terjalin
komunikasi yang baik diantara kita dan kelanjutan rumah tangga kita.”
Kata Ali, “ Tentu saja istriku, silahkan. Aku akan mendengarkanmu.”
Fatimah
pun berkata, “Wahai Ali suamiku, maafkan aku. Tahukah engkau bahwa
sesungguhnya sebelum aku menikah denganmu, aku telah lama mengagumi dan
memendam rasa cinta kepada seorang pemuda. Aku merasa pemuda itu pun
memendam rasa cintanya untukku. Namun akhirnya, ayahku menikahkan aku
denganmu. Sekarang aku adalah istrimu. Kau adalah imamku, maka aku pun
ikhlas melayani, mendampingi, mematuhi dan menaatimu. Marilah kita
berdua bersama-sama membangun keluarga yang diridhai Allah.”
Sungguh
bahagianya Ali mendengar pernyataan Fatimah yang siap mengarungi
bahtera kehidupan bersama. Suatu pernyataan yang sangat jujur dan tulus
dari hati perempuan shalihah. Tapi, Ali juga terkejut dan sedih ketika
mengetahui bahwa sebelum menikah dengannya, ternyata Fatimah telah
memendam perasaan kepada seorang pemuda. Ali merasa bersalah karena
sepertinya Fatimah menikah dengannya karena permintaan Rasul yang tak
lain adalah ayahnya Fatimah. Ali kagum dengan Fatimah yang mau merelakan
perasaannya demi taat dan berbakti kepada orang tuanya yaitu Rasul dan
mau menjadi istri Ali dengan ikhlas.
Namun
Ali memang pemuda yang sangat baik hati. Ia memang sangat bahagia
sekali telah menjadi suami Fatimah. Tapi karena rasa cintanya karena
Allah yang sangat tulus kepada Fatimah, hati Ali pun merasa tidak tega
jika hati Fatimah terluka. Karena Ali sangat tahu bagaimana rasanya
menderita karena cinta. Dan sekarang, Fatimah sedang merasakannya. Ali
bingung ingin berkata apa, perasaan di dalam hatinya bercampur aduk. Di
satu sisi ia sangat bahagia telah menikah dengan Fatimah, dan Fatimah
pun telah ikhlas menjadi istrinya. Tapi di sisi lain, Ali tahu bahwa
hati Fatimah sedang terluka. Ali pun terdiam sejenak. Ia tak menanggapi
pernyataan Fatimah.
Fatimah pun lalu berkata, “Wahai Ali, suamiku sayang. Astagfirullah, maafkan aku. Aku tak ada maksud ingin menyakitimu. Demi Allah, aku hanya ingin jujur padamu.”
Ali
masih saja terdiam. Bahkan Ali mengalihkan pandangannya dari wajah
Fatimah yang cantik itu. Melihat sikap Ali, Fatimah pun berkata sambil
merayu Ali, “Wahai suamiku Ali, tak usahlah kau pikirkan kata-kataku
itu.”
Ali
tetap saja terdiam dan tidak terlalu menghiraukan rayuan Fatimah,
tiba-tiba Ali pun berkata, “Fatimah, kau tahu bahwa aku sangat
mencintaimu. Kau pun tahu betapa aku berjuang memendam rasa cintaku demi
untuk ikatan suci bersamamu. Kau pun juga tahu betapa bahagianya kau
telah menjadi istriku. Tapi Fatimah, tahukah engkau saat ini aku juga
sedih karena mengetahui hatimu sedang terluka. Sungguh, aku tak ingin
orang yang kucintai tersakiti. Aku begitu merasa bersalah jika
seandainya kau menikahiku bukan karena kau sungguh-sungguh cinta
kepadaku. Walupun aku tahu lambat laun pasti kau akan sangat
sungguh-sungguh mencintaiku. Tapi aku tak ingin melihatmu sakit sampai
akhirnya kau mencintaiku.”
Fatimah
pun tersenyum haru mendengar kata-kata Ali. Ali diam sesaat sambil
merenung. Tak terasa, mata Ali pun mulai keluar airmata. Lalu dengan
sangat tulus, Ali berkata, “Wahai Fatimah, aku sudah menikahimu tapi aku
belum menyentuh sedikitpun dari dirimu. Kau masih suci. Aku rela agar
kau bisa menikah dengan pemuda yang kau cintai itu. Aku akan ikhlas,
lagipula pemuda itu juga mencintaimu. Jadi, aku tak akan khawatir ia
akan menyakitimu. Karena ia pasti akan membahagiakanmu. Aku tak ingin
cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan. Sungguh aku sangat
mencintaimu. Demi Allah, aku tak ingin kau terluka.”
Dan
Fatimah juga meneteskan airmata sambil tersenyum menatap Ali. Fatimah
sangat kagum dengan ketulusan cinta Ali kepadanya. Cinta yang
dilandaskan keimanan yang begitu kuat. Ketika itu juga, Fatimah ingin
berkata kepada Ali, tapi Ali memotong dan berkata, “Tapi Fatimah,
bolehkah aku tahu siapa pemuda yang kau pendam rasa cintanya itu? Aku
berjanji tak akan meminta apapun lagi darimu. Namun ijinkanlah aku
mengetahui nama pemuda itu.”
Airmata
Fatimah mengalir semakin deras. Fatimah tak kuat lagi membendung rasa
bahagianya dan Fatimah langsung memeluk Ali dengan erat. Lalu Fatimah
pun berkata dengan tersedu-sedu, “Wahai Ali, demi Allah aku sangat
mencintaimu. Sungguh aku sangat mencintaimu karena Allah.” Berkali-kali
Fatimah mengulang kata-katanya.
Setelah
emosinya bisa terkontrol, Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali,
awalnya aku ingin tertawa dan menahan tawa sejak melihat sikapmu setelah
aku mengatakan bahwa sebenarnya aku memendam rasa cinta kepada seorang
pemuda sebelum menikah denganmu. Aku hanya ingin menggodamu. Sudah lama
aku ingin bisa bercanda mesra bersamamu. Tapi kau malah membuatku
menangis bahagia. Apakah kau tahu sebenarnya pemuda itu sudah menikah.”
Ali
menjadi bingung, Ali pun berkata dengan selembut mungkin, walaupun ia
kesal dengan ulah Fatimah kepadanya, ”Apa maksudmu wahai Fatimah? Kau
bilang padaku bahwa kau memendam rasa cinta kepada seorang pemuda, tapi
kau malah kau bilang sangat mencintaiku, dan kau juga bilang ingin
tertawa melihat sikapku, apakah kau ingin mempermainkan aku Fatimah?
Tolong sebut siapa nama pemuda itu? Mengapa kau mengharapkannya walaupun
dia sudah menikah?”
Fatimah
lalu memeluk mesra lagi, lalu menjawab pertanyaan Ali dengan manja,
“Ali sayang, kau benar seperti yang kukatakan bahwa aku memang telah
memendam rasa cintaku itu. Aku memendamnya bertahun-tahun. Sudah sejak
lama aku ingin mengungkapkannya. Tapi aku terlalu takut. Aku tak ingin
menodai anugerah cinta yang Allah berikan ini. Aku pun tahu bagaimana
beratnya memendam rasa cinta apalagi dahulu aku sering bertemu
dengannya. Hatiku bergetar bila kubertemu dengannya. Kau juga benar
wahai Ali cintaku. Ia memang sudah menikah. Tapi tahukah engkau wahai
sayangku? Pada malam pertama pernikahannya ia malah dibuat menangis dan
kesal oleh perempuan yang baru dinikahinya.”
Ali
pun masih agak bingung, tapi Fatimah segera melanjutkan kata-katanya
dengan nada yang semakin menggoda Ali, ”Kau ingin tahu siapa pemuda itu?
Baiklah akan kuberi tahu. Sekarang ia berada disisiku. Aku sedang
memeluk mesra pemuda itu. Tapi dia hanya diam saja. Padahal aku
memeluknya sangat erat dan berkata-kata manja padanya. Aku sangat
mencintainya dan aku pun sangat bahagia ternyata memang dugaanku benar.
Ia juga sangat mencintaiku.”
Ali berkata kepada Fatimah, “Jadi maksudmu?”
Fatimah pun berkata, “Ya wahai cintaku, kau benar, pemuda itu bernama Ali bin Abi Thalib sang pujaan hatiku.”
Kemudian
Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku
untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka
saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat
ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar
tersebut."
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
"Semoga
Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan
kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan
dari kalian berdua kebajikan yang banyak."
(kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)
renungan...
Ketika
Ali merasa belum siap untuk melangkah lebih jauh dengan Fatimah, maka
Ali mencintai Fatimah dengan diam. Karena diam adalah satu bukti cinta
pada seseorang. Diam memuliakan kesucian diri dan hati sendiri dan orang
yang dicintai. Sebab jika suatu cinta diungkapkan namun belum siap
untuk mengikatnya dengan ikatan yang suci, bisa saja dalam interaksinya
akan tergoda lalu terjerumus kedalam maksiat. Naudzubillah.
Biarlah
cinta dalam diam menjadi hal indah yang bersemayam di sudut hati dan
menjadi rahasia antara hati sendiri dan Allah Sang Maha Penguasa Hati.
Yakinlah Allah Mahatahu para hamba yang menjaga hatinya. Allah juga
telah mempersiapkan imbalan bagi para penjaga hati. Imbalan itu tak lain
adalah hati yang terjaga.
Semoga
kisah ini bermanfaat bagi para insan yang merindukan cinta suci
karena-Nya, yang sedang berikhtiar sekuat hatinya, dan yang saat ini
menanti dengan sabar demi menyambut jalan cinta yang diridhai-Nya
0 komentar :
Posting Komentar