Home » » Pertengkaran Kerajaan Gorontalo dan Limboto

Pertengkaran Kerajaan Gorontalo dan Limboto

Written By NurulHuda on Selasa, 24 Mei 2011 | Selasa, Mei 24, 2011

Konon pada abad ke-15, kerajaan Gorontalo dan Limboto diperintah oleh sepasang suami isteri yaitu Raja Wolanga dan Ratu Moliye. Zaman itu di Gorontalo dan Limboto belum dikenal lembaga kerajaan dwi-tunggal yang dikenal pada tahun-tahun sesudahnya. Perkawinan antara pemimpin dua kerajaan ini melahirkan seorang anak laki-laki bernama Polamolo. Ketika Polamolo beranjak dewasa, kedua orang tuanya (Moliye dan Wolanga) bermaksud maju berperang ke Teluk Tomini, menaklukkan beberapa kerajaan kecil untuk menambah jumlah rakyatnya. Pemerintahan atas Gorontalo dan Limboto diserahkan kepada Polamolo. Dengan demikian ia menjadi raja pertama yang memerintah dua kerajaan tersebut sekaligus. Polamolo naik tahta dengan gelar “Olangia Mobalanga” artinya raja yang berpindah-pindah, tujuh hari pertama memerintah Gorontalo dan tujuh hari lainnya di Limboto.Wolanga dan Moliye bertolak dari Gorontalo dan melakukan perjalanan ke arah Barat dan Selatan. Wolanga mengerahkan angkatan lautnya dan bertolak dari Teluk Gorontalo, berlayar menyusur pantai ke arah Barat. Sedangkan Moliye bertolak dari Sungai Paguyaman yang pada waktu itu berfungsi sebagai pelabuhan Limboto di pantai Selatan, kemudian menyeberang ke pulau-pulau Togian, untuk selanjutnya kembali ke daratan pulau Sulawesi di Tanjung Api. Dari sini kemudian berlayar ke arah Barat dan berjumpa di Sausu dengan Wolanga dan gerombolannya. Pada waktu itu mereka telah berhasil menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan selanjutnya menempuh jalan pulang sambil membawa rampasan perang dan budak-budak.

Rombongan Gorontalo dipanglimai oleh Wulea lo Lipu Bilinggata yang bernama Hilibala, bertindak sebagai Luntudulungo artinya pemimpin, penunjuk jalan atau pelopor. Sedangkan rombongan Limboto dipimpin oleh Wulea lo Tibawa bernama Hemuto, yang terkenal berani dan kejam. Konon dalam perjalanan pulang Hemuto dan Hilibala bertukar kedudukan, Hemuto menjadi Luntudulungo dari raja Gorontalo dan Hilibala menjadi Luntudulungo dari istrinya Ratu Moliye dari Limboto.

Menurut cerita, dalam perjalanan pulang itu Moliye berselingkuh dengan Hilibala sehingga hal ini menjadi sebab utama terjadinya kerenggangan hubungan kedua kerajaan tersebut. Polamolo ketika itu berusaha untuk mencari jalan perdamaian. Ia menyalahkan Wulea lo Tibawa Hemuto sebagai pembawa mala-petaka tersebut. Akibatnya beratus-ratus orang Goromtalo dibunuh dan ditawan oleh orang Limboto. Beratus-ratus tengkorang dari orang Gorontalo yang dipotong kepalanya di gunung Huntulobohu masih merupakan saksi dari peristiwa itu.

Kejadian ini membuat polamolo menjadi sedih, sehingga ia memutusakan untuk pergi mengembara (moleyangi). Beserta dengan pengiring-pengiringnya ia melakukan perjalanan ke barat ia kemudian sampai ke sungai buntayoda’a, yang bermuara di teluk tomini dekat kampung kecil marissa dan berlayar terus ke hulu sungai. Suatu ketika ia sedang mandi di sungai itu, terlihatlah olehnya melilit di pinggangnya sehelai rambut yang panjangnya kurang lebih setengah depa. Ia mengambil rambut itu dan menyimpannya. Ketika ia melanjutkan pelayarannya menuju hulu sungai, tampaklah oleh dia dan pengiringnya seorang wanita sedang berlari dan seluruh tubuhnya terselubung oleh rambutnya yang amat panjang. Setelah didekati dan di Tanya bahwa wanita tersebut adalah seorang purti raja Buhu Ponelo bernama Huyahulawa. Polamolo kemudian kawin dengan anak raja itu dan tinggal beberapa lamanya di negri istrinya itu, sampai dipanggil pulang kembali ke gorontalo. Dari perkawinan mereka lahir seorang anak laki-laki yang karma dinilai memiliki sifat-sifat luar biasa diberi nama Limonu atau jilimonu artinya anak yang luar biasa perawakan dan ketampanannya. Baru saja bayi itu dilahirkan, ia segera di bersihkan di sungai pimpine. Di tengah-tengah sungai ini menjulang sebuah batu karang yang berbentuk sebuah gua. Air didalamnya selalu jernih,walau waktu banjir yang paling besar sekalipun, dan bahkan ayam-ayam sabungan yang dimandikan dalam air menjadi tak terkalahkan. Tidaklah mengherankan bahwa pada umur lima tahun limonu sudah terkenal karna ketangkasannya dalam menangkap burung malewo yang dalam jumlah banyak menetas di pantai Marisa. Ia juga dalam segala macam permainan melebihi ketangkasan kawan-kawannya. Kawan-kawannya sering mengolo-olok dengan mengatakan bahwa sifat-sifatnya luar biasa itu dimilikinya karna ia tidak pernah mempunyai seorang ayah. Dengan sedih limonu menanyakan hal itu pada ibunya. Ibunya akhirnya mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang raja di sebuah kerajaan besar yang letaknya di sebelah timur. Limonu kemudian pamit waktu ibunya, ingin berkelana walau pun usianya masih muda belia, karena pada waktu itu ia baru berusia sepuluh tahun.

Setelah mengalami banyak penderitaan dalam pengembaraannya, akhirnya limonu sampai juga di kerajaan gorontalo. Kebiasaan yang berlaku di kerajaan ini adalah bahwa pada setiap petang dilakukan permainan “mosepa” (ketangkasan bermain bola keranjang) di halaman istana, yang melibatkan semua penonton yang terdiri dari pembesar dan ponggawa istana. Limonu kemudian mendekati tempat itu dan berkesempatan memperlihatkan kemahirannya yang luar biasa sehingga membuat kagum semua yang hadir dalam peristiwa tesebut. Karna ketangkasannya itu maka ia dipanggil menghadap raja. Setelah saling mengenal, segeralah tenyata bahwa limonu adalah anak kandung raja sendiri tinggallah ia berdiam di kerajaan itu sebagai anak raja.

Setelah tinggal di kerajaan ayahnya, limonu banyak mendengar tentang perlakuan hemuto terhadap rakyat gorontalo. Di sini ia mendengar keganasan-keganasan hemuto yang membuat gorontalo menderita. Untuk membela rakyatnya akhirnya limonu memutuskan untuk menantang hemuto perang tanding dan berangkatlah ia ke kerajaan limboto dengan bersenjatakan Eluto (keris pendek).

Setibanya di limboto didapatinya pemimpin orang itu sedang berada di kebunnya, mencabuti rumput. Seluruh kebun itu di kelilingi pagar dari kayu nibung yang kuat dan tak berpintu. Dengan sepotong bambu, limonu memukul kayu pagar sehingga mengagetkan hemuto. Hemuto kemudian bertanya, “Hai Siapakah yang berani kurang ajar memukul-mukul pagar rumahku?” kemudian menjawablah limonu, “saya cucumu!”. Hemuto kemudian berkata lagi “Kalau engkau benar cucuku, cobalah masuk ke dalam pagar rumahku yamh tak berpintu ini”.

Limonu kemudian melemparkan sebuah batu ke pagar seberang untuk mengalihkan perhatian hemuto, dan dengan sekali melompat ia sudah berada di dalam lingkungan pagar tak berpintu itu, tanpa disadari oleh hemuto. Menyaksikan hal itu hemuto terperanjat, saat itulah ia sadar bahwa seorang yang luar biasa telah bangkit diantara orang-orang gorontalo. Dengan merendah limonu meminta kepada hemuto untuk mengajarnya silat meskipun dalam perasaan ia bermaksud menjajaki kesaktian hemuto. Dalam permainan ini limonu menggunakan eluto yang dibawanya sebagai senjata dan terjadilah perkelahian seru. Akhirnya dalam perkelahian itu limonu behasil memotong sebagian telinga hemuto. Ketika potonga telinga itu di perlihatkan, hemuto menjadi malu sekali hingga akhirnya melarikan diri ke hutan belantara. Hingga sekarang ini jejaknya tidak diketahui orang, apa yang terjadi atas dirinya dan dimana kuburannya tetaplah masih merupakan misteri yang tak terpecahkan. Kekalahan hemuto sebagai pemimpin balantara limboto atas limonu yang di katakan berasal dari Gorontalo. Selain itu penyebab lainnya (ketiga) juga adalah akibat persaingan yang terjadi antara kedua pemimpin balantara dua negri itu yaitu antara Hilibala dan Hemuto. Menurut kedua cerita kedua wulea ini sekembalinya berperang dari teluk Tomini, saat istirahat mereka membiarkan kerbaunya masing-masing berlaga satu dengan yang lain dengan disaksikan oleh prajurit mereka. Dalam peristiwa laga tersebut kerbau pihak gorontalo menang dua kali dan kerbau Limboto hanya menang satu kali saja. Dengan peristiwa ini akhirnya mereka saling mengejek melemparkan kata-kata bersajak berisi ejekan tantangan pihak-pihak yang kalah, kemudian dibalas pula dengan ejekan bahkan tantangan, bahwa kerbau kan hanya binatang, meskipun ia kalah tapi orang-orangnya belum tentu kalah.

Sebab keempat dan dianggap amatlah berat yang pemicu peperangan kedua belah pihak adalah pembunuh atas raja Polamolo oleh pembesar-pembesar Limboto. Suatu saat raja Polamolo memerintahkan membuat sebuah pondok di Debualolo yang merupakan daerah perbatasan antara Limboto dan Gorontalo. Suatu hari ketika ia sudah menjalankan pemerintahnya selama tujuh hari di Gorontalo, berangkatlah ia menjalankan perintahan di Limboto untuk tujuh hari berikutnya. Tepat saat ia berada di muara sungai Ngango lo Bunggalo di danau Limboto yang sedang tampak olehnya sebuah asap api yang berasal dari tempat orang-orang Limboto yang sedang menebang kayu untuk pembangunan pondok. Karena terkena asap yang hitam dan pekat maka kelihatan kulit mereka menjadi kehitam-hitaman. Polamolo bertanya kepada para Olongia yang mengiringnya “Siapakah orang-orang yang hitam pekat itu?” Pengiringnya berasal dari kerajaan Limboto merasa terhina dengan pertanyaan rajanya itu dan dengan gusar mereka menjawab, “Tidaklah tuanku ketahui bahwa mereka adalah orang-orang Limboto sedang menebang, menyeret dan membakar kayu untuk membangun pondok yang tuan perintahkan dibangun di Dehuaholo”. Mendengar jawaban itu Polamolo tersentak diam. Pengiring-pengiringnya yang terdiri dari para kepala adat menafsirkan bahwa kata-kata yang diucapkan oleh polamolo itu merupakan suatu penghinaan kepada pondok untuk raja, mengapa dihina seperti itu. Terlebih-lebih para olongia yang berasal dari Dunito dan Hungayo mereka sakit hati mendengar kata-kata itu. Menurut mereka bahwa Limboto negeri dari ibunya dihina sang raja, rakyatnya disebut gelap hitam, sedangkan negeri ayahnya Gorontalo disanjung-sanjung oleh sang raja. Akhirnya Polamolo dibunuh oleh pembesar-pembesar Limboto, kepalanya dikubur di gorontalo dan badannya di Limboto

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun tanpa terasa pertikaian itu telah berlangsung seabad. Ketika itu di Limboto dan Gorontalo telah dikenal adanya pemerintahan dua pihak (dwi-tunggal kerajaan) yang disebut dengan pemerintahan to Huliyalio dan to Tilayo. Seperti misalnya kerajaan Limboto pada waktu itu diperintah oleh dua orang olongia (raja), Olongia to Huliyalo adalah Dulapo dan Olangia to Tilayo yaitu Humonggilu. Masing-masing kerajaan dari tahun ke tahun tetap berusaha menggalang bantuan kepada pihak lain untuk memperkuat kedudukannya. Seperti yang terlihat pada Dulapo, ia mengutus anak laki-lakinya (yang kemudian menggantikannya) Tilahunga ke Ternate meminta bantuan raja Ternate, Ba’abdullah untuk memerangi kerajaan gorontalo. Demikian pula hanya dengan Humonggilu. Hanya berada dengan Dulapo, diketahui ternyata bahwa Olangio to Tilayo lo Limboto ini pernah membantu raja Ba’abdullah dalam suatu perang saudara. Ia kemudian mengawini seorang saudara perempuan raja Ternate itu yang bernama Ju Mu’min. Di Ternate kemudian ia memeluk agama islam dan sekembalinya ke Limboto ia menyebarkan agama itu. Peristiwa tersebut menurut pemberitaan terjadi pada tahun 1562.

Sementara itu di Gorontalo, pemerintahan Dwi-tunggal dipegang oleh Amai sebagai Olongia to Tilayo dan Tuliyabu sebagai Olongia to Huliyalio. Pada salah satu perang penyerbuan ke Teluk Tomini, Amai mengawini seorang anak perempuan raja Kumojolo bernama Owutango, yang dari pihak ibunya adalah keturunan raja-raja Palasa dari Siendeng yang pula bertalian darah erat sekali dengan raja-raja Ternate. Anak laki-laki yang lahir dari perkawinan mereka bernama Matolodula. Matolodula inilah yang selanjutnya menggantikan ayahnya Amai sebagai raja Udik (Olongia to Tilayo). Di bawah pemerintahannya terjadi pengislaman Gorontalo yang juga turut dibantu oleh anggota keluargannya yang berasal dari Ternate.

Dari keterangan di atas tampaklah bahwa kedua kerajaan ternyata sudah memelihara beberapa hubungan dengan Ternate. Diceritakan selanjutnya bahwa rupanya permintaan bantuan Tilahungan, buat sementara waktu belum membawa hasil. Meskipun ternyata diketahui bahwa bantuan itu akhirnya terwujud setelah Tilahunga menggantikan kedudukan ayahnya, Dulapo. Di Gorontalo Matolodupun sudah digantikan oleh anaknya. Pongokiwu sebagai Olongia to Tilayo, sedangkan isteri Matolodula bernama Wulatileni menggantikannya menjadi ratu di kerajaan to Huliyalio lo Hulantalo. Sementara itu untuk kedua kalinnya Limboto berusaha mendapatkan bantuan dari Ternate dalam rangka memerangi kerajaan Gorontalo. Usaha ini berhasil dilakukan melalui Detubiya, anak raja Humonggilo dan Ju’mu’min putri Ternate. Gorontalo akhirnya dapat dikalahkan dan anak perempuan Matolodula dengan Wulatileni bernama Poheleo atau Mboheleo dibawa ke Ternate sebagai tawanan. Putri ini pun akhirnya kawin dengan raja Ju Mangopa dan karna ia mempunyai nama Ternate yaitu Ju Balu. Ketika ibunya Wulatileni mangkat ia pun diizinkan kembali ke Gorontalo menggantikan ibunya sebagai Ratu Hilir (Olongia to Huliyalio). Ketika itu pun ia ditinggal mati suaminya Ju Mangopa.

Sekembalinya ke Gorontalo, Poheleo yang masih sakit hati akibat kekalahan perang melawan Limboto berminat untuk membalas dendam. Ia tidak menghiraukan meskipun merasa mempunyai pertalian darah dengan Ternate. Saat itu ia memutuskan untuk mengirim Hohuhunya (Patih atau Perdana mentri) bernama Bumulo tidak begitu menyukai tugas ini, mengingat ia sudah membuat rencana dengan Khatibida’a (Penghulu Utama) bernama Eyato untuk mengusahakan perdamaian dengan Limboto. Akan tetapi karna Poheleo mengancamnya untuk tidak memberikan persetujuannya mengawini Duhula, cucu Motadula, maka dengan rasa engan dipenuhinya juga perintah tersebut.

Dengan bantuan Gowa, negeri Limboto dikalahkan. Dua anak permpuan dan seorang anak laki-laki dari Limboto, Momiya yang pada waktu itu telah menggantikan ayahnya Tilahunga, ditawan. Kedua anak perempuan itu masing-masing bernama Ntobango dan Tili’aya dibawa ke Gowa dengan dikawal oleh tiga orang Baate, bernama Mopato Langolo, Mopato Hulita, Mopato Taniyo. Sedang laki-lakinya bernama Pomontolo dibawa ke Manguju (Mandar). Mula-mula kedua orang putri Limboto itu menerima perlakuan yang buruk sekali di Gowa. Konon kabarnya akibat perlakuan tersebut negeri Gowa mengalami musim kemarau yang hebat sekali, semua sumur mengalami kekeringan air. Hanya dengan susah payah, dengan menggunakan tali sepanjang seratus depa orang baru dapat menimba air dan hanya mampu mengisi satu ruas bambu penuh, itu pun hanya bisa diperoleh dari sumur didekat raja.

Suatu hari kedua orang putri itu meminta izin untuk mandi di sumur dekat rumah raja itu, sewaktu akan mandi tiba-tiba air sumur naik hingga melimpah-limpah melalui pinggir sumur. Dengan serta merta mereka menyiram air kepada ke badannya dengan sebuah keranjang, dikarenakan orang tidak memberikan merka timba. Ternyata mereka mandi seolah-olah dengan menggunakan timba, air tidak keluar dari keranjang itu. Mukzijat tersebut membuat raja Gowa kagum, kemudian meminta mereka menurunkan hujan, dan betullan ternyata hujan pun turun setelah mereka memohon sambil mengadahkan tangan ke langit. Setelah kejadian itu putri-putri itu selanjutnya diperlakukan dengan hormat. Meskipun demikian setelah lepas dari musibah satu musibah lain pun datang, wabah-wabah lain masih tetap saja menimpa negeri itu. Akhirnya sang raja memutuskan memulangkan saja putri-putri itu ke Limboto. Maka berangkatlah mereka dengan satu kekuatan angkatan laut yang besar dengan tujuan merampas kembali semua barang-barang dan anak buah yang ditawan oleh orang-orang Gorontalo, dan kemudian bermaksud menaklukan Gorontalo dibawah kekuasaan Limboto. Ketika angkatan laut itu sampai di Tolinggula bertemulah mereka dengan utusan-utusan penjemput dari Limboto yang telah memperoleh berita gembira tentang kembalinya Ntobango dari Tili’aya. Di antara para penjemput itu terdapat Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Pomalo. Disebuah pulau kecil bernama Lihutokalo depan Bolontiyo berhentilah mereka. Disini Popa dan Pomalo berusaha menjalankan misinya, membujuk para pemimpin Gowa tidak bersedia karena merasa belum melaksanakan tugas yang di perintahkan raja mereka.

Sementara itu desas-desus mengenai kedatangan angkatan laut Gowa yang yang besar sudah terdengar di Gorontalo. Hohuhu Bumolu, setelah mendengar desas-desus tersebut menyuruh untuk mengumpulkan dua gantang emas mengirim Khatiibida’a Eyato membawa emas itu mempunyai menemui angkatan laut Gowa dan menbujuk mereka supaya jangan melakukan penyerbuan terhadap kerajaan Gorontalo. Eyato benar-benar berhasi menemui Wulea lo Lipu Pomalo dan Hohuhu Popa, selanjutnya dulohupa pun dilakukan. Dengan tindakan yang bijaksana diperolehlah jaminan dan kesepakatan akan bantuan mereka untuk menciptakan perdamaian di dua negeri yang bersengketa. Mereka menemukan kata sepakat sesudah pemimpin Gorontalo atas jaminan Eyato berjanji akan mengembalikan semua harta rampasan kekerajaan Limboto. Kemudian mereka menjalankan strategi untuk menghalau pasukan angkatan laut Gowa ke Gorontalo. Sambil membagi-bagikan emas kepada karaeng-karaeng Gowa tersebut, Eyato Dengan disaksikan oleh pembesar Limboto menerangkan bahwa Gorontalo akan menaklukan diri pada Limboto. Setelah memperoleh penjelasan tersebut maka akhirnya pasukan angkatan laut Gowa tersebut setuju untuk kembali ke Gowa. Sememtara itu kedua orang puteri Limboto dengan selamat akhirnya kembali ke Limboto didampingi oleh para baate masing-masing. Demikian pula Pomontolo, saudara lelaki mereka berhasil di bebaskan oleh baate Mopatu Taniyo.

Usaha mendamaikan kedua negeri yang bertikai mengalami kemajuan. Hal ini berkat peranan dan strategi yang dijalankan oleh pembesar kedua negeri terutama oleh Khatibida’a Eyato dan Hohuhu Bumulo dari pihak Gorontalo, dan Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Pomato dari pihak Limboto. Konon perdamaian itu telah jauh-jauh hari sebelumnya mereka rencanakan. Diceritakan suatu ketika Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Polamalo diperintahkan oleh ratu mereka mencari bala bantuan kerajaan Gowa. Akan tetapi dalam perjalanan dicegat oleh Khatibida’a Eyato. Eyato meminta kepada para pembesar Limboto itu untuk tidak tergesa-gesa dan sedapat mungkin memperlambat perjalanan, rupanya dengan maksud mengusahakan perdamaian antara Gorontalo dan Limboto sebelum angkatan laut tiba.akhirnya mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan. Ketika kembali ke Gorontalo dengan maksud akan menjalankan rencannya membujuk ratu kerajaan tersebut, kehadirannya di tempat itu ditolak. Sebagai Khatibida’a dia tidak berhak berbicara dalam siding pembesar Negara. Akan tetapi dengan kelihainannya akhirnya Eyato berhasil menarik perhatian bahkan meyakinkan kedua pimpinan Gorontalo, Sehingga diizinkan masuk ke Bantayo (ruang sidang)untuk memberikan penjelasan Bumulo, anak dari Hohuhu Hungilo (Buyobudu) saat itu bertindak sebagai perantara. Eyato memeparkan rencananya dalam sidang itu yang pada dasarnya ingin mendamaikan kedua kerajaan Gorontalo dan Limboto. Rencana ini akhirnya mendapatkan persetujuan kedua ratu Gorontalo, Moliye dan Poheleo. Diputusakan juga pada saat itu bahwa Boyubodu demi mendukung kepentingan Bomulo, sekaligus menyerahkan jabatan kepada anaknya itu sebagai Hohuhu Hungilo. Sementara itu Eyato juga menggantikan pamannya Patilama sebagai

Hohuhu Lupoyo, dengan tujuan kedua orang tua muda itu bisa bekerja sama untuk dan atas nama kerajaan Gorontalo melaksanakan rencana mereka. Eyato berlayar menyusul Hohuhu Popa dan akhirnya mencapai kata sepakat.

Untuk mewujudkan perdamaian sebagai mana yang telah disepakati atas maka para pembesar Limboto dengan di antar oleh Eyato selanjutnya selanjutnya secara bersama-sama mengdakan perjalanan ke Gorontalo. Pusat kerajaan Gorontalo ketika itu terletak Lupoyo seorang diantara orang Limboto Palingga sambil berdiri diatas perahunya berseru sambil mengumandangkan tuja’I sebagai berikut :

Tomupa loli Dotula Orang turun dari perahu disungai (Lupoyo)

Mai mohibintua Datang bertanya-tanya

Malongongolipua Sudah bersama-sama satu negeri

Ode hinteyalihua Menuju saudara seibu



Konon kabarnya selama tiga hari berturut-turut tuja’I ini di ulangi tiga kali dalamm sehari. Setelah menerima pesan ini pembesar-pembesar Gorontalo kemudian untuk mencari seorang yang bergelar Lebidi’a, satu-satunya orang yang dianggap mengerti makna tuju’i tersebut. Akan tetapi barulah pada hari ketiga orang yang dicari tersebut muncul. Sambil berdiri di bawah sebatang pohon tintilo ditepi danau dekat Pentadio sekarang ini, Lebida’a membalas tuja’i tersebut dengan kata-kata sebagai berikut :

Tupalai to dutula Silahkan masuk ke sungai

Mahipo bintua-bintua Sedang bertanya-tanya

Odeo hintea lihua Bagaikan barang yang dimandikan

Tilola lulu’ubuwa Ditinggalkan cucu perempuan

Wolo du’alo yiluwa Dengan do’a-do’a selamanya

Lipunto biye lahuwa Negeri yang kita nyanyikan (idamkan)

Molinggadu lo dutuwa Terletak berdampingan

Ma tomoliyatuwa Sudah hendak bersatu badan

Modame moponuwa Berdamai berkasih-kasihan.

Sesudah memperoleh jawaban yang menyenangkan hati, dua kerajaan yang telah lama berseteru itu, akhirnya saling merapatkan barisan armadanya. Ketika di hadapan keduanya seraya berkata : “Sikarayi kalili huwangga lo olongia lo Hulanto to hilawo moputi” (Senjata dari karaeng yang terpilih kepunyaan raja Gorontalo pada hati yang putih). Maksudnya adalah agar keris (Huwangga) ini diberikan kepada raja Gorontalo sebagai bukti kehendak hati yang ingin berdamai. Selanjutnya Hohuhu Popa dengan cara yang sama menghadap ratu Limboto, Momiyo dan Ntihedu (putrid Detubiya) mencabut kerisnya dan meletakannya dihadapan mereka seraya berkata : “Sikarayi kalili huwanga lo olongia lo Limutu tide alinaya” (senjata dari karaeng yang terpilih, kepercayaan raja Limboto tidak menganiyaya) yang juga maksudnya kurang lebih sama dengan pernyataan sebelumnya.

Sejak dilakukan ikrar bersama di sungai Lupoyo itu maka usaha untuk menggalang perdamaian secara menyeluruh pun dilakukan, yang antara lain diwujudkan dengan cara saling mengunjungi antara pembesar kedua negeri yang berttikai. Akhirnya diputuskan unutk merundingkan secara lebih jauh hasilnya melalui perjanjian yang disepakati bersama di atas sumpah. Ketika akan melakukan perjanjian tersebut Ratu to Huliyalio tolo Limboto, Momiyo telah digantikan oleh putranya Pomontolo, yang selanjutnya berangkat ke Gorontalo untuk berunding (lo duudula) dengan pembesar Gorontalo. Ia didampingi oleh Hohuhu Popa, Wulea lo Lipu Pomalo serta pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Sesampainya di Lupoyo (Gorontalo) mereka menyampaikan salam melalui tuja’i sebagai berikut :

Baate-baate Loti’alo Baate-baate sudah berpindah Haluan

Lo Limutu Hulontalo Dari Limboto Gorontalo

Wuudionto dulalo Kehormatan dibawa bersama

Wameti tayuyuwalo Terimalah dan angkatlah

Tuja’i ini dibalas oleh bate-bate Gorontalo :

Baate-baate lo ti’alo Baate-baate sudah berpindah haluan

Wuudionto dilelo Kehormatan dibawa bersama

Wametalo talaalo Terimalah dan jagalah

Tayuyuwo lo dudulalo Terimalah, angkatlah berdampingan

Bangango lolahepo Terangilah segalanya

Kemudian raja Pomontolo turun dari perahunya mengambil tempat duduk di atas babulowangga (tandu) dan berangkatlah dengan pengiring-pengeringnya ke tempat kediaman raja to Huliyalio Bumulo yang sementara itu sudah menggantikan Poheleo. Sesudah pembesar-pembesar kedua kerajaan itu mengambil tempat duduk masing-masing, bersama-sama mereka mengucapkan tuja’i yang berikut :

Hibulo’a hidulitu Duduk teratur

Mopayu wu’udu lipu Berlaku kehormatan negeri

Mojanji bidu motipu Berjanji tidak ada lagi putus ujungnya

Hidulitu hihulo’a Beraturan duduk

Dunggolo de mobu’a Mudah-mudahan tidak bercerai

Tujuh hari lamanya Pomontolo dengan pengiring-pengiringnya berada di Gorontalo untuk merundingkan isi persekutuan antara kedua kerajaan, setelah itu barulah ia pulang ke Limboto. Sementara itu berangkatlah pula raja to Tilayo lo Hulontalo Eyato yang sementara itu telah menggantikan isterinya untuk mengadakan kunjungan balasan ke Limboto beserta pengiring-pengiringnya di antaranya Hohuhu Male dan Wulea to Lipu Uwabu.

Sesampainya di Lintalo, yang merupakan pusat kedudukan kerajaan Limboto waktu itu mereka mengucapkan tuja’i maksudnya kurang lebih sama dengan tuja’i di atas. Selesai acara membalas tuja’i oleh para Baate kedua kerajaan tersebut, Raja Eyato kemudian turun dari perahunya, diambilnya tempat duduk di dalam Babulowangga yang disediakan dan selanjutnya menuju ke tempat kediaman raja to Tilayo lo Limboto (Ilato) yang juga telah menggantikan ibunya Ntihedu, ketika masuk ke dalam istana dan dipersilahkan duduk berdampingan dengan raja Limboto, dengan penuh keakraban mereka mendengarkan tuja’i-tuja’i dan kata-kata sanjungan yang disampaikan oleh baate-baate kedua negeri.

Sama halnya dengan Pomontolo ketika berada di Limboto, raja Eyato pun beserta pengiring-pengiringnya merundingkan perdamaian dengan para pembesar Limboto selama tujuh hari lamanya. Akhirnya saat itu telah dapat dicapai kesepakatan damai, yang dirayakan dengan kenduri diiringi hidangan lemak kerbau dan saling bersumpah. Adapun perjanjian kedua negeri tersebut kurang lebih seperti berikut:

Pertama, kedua kerajaan tidak akan melakukan tindakan kekerasan yang satu terhadap lainya, pelanggaran terhadap ketentuan ini adalah merupakan kutukan yang akan ditimpakan kepada pembesar dan seisi negeri. Kedua, mereka tidak akan saling melemparkan fitnah (fitnah-memfitnah) orang, dan bagi yang akan melakukan ini dan ingin menimbulkan perpecahan antara kedua kerajaan juga akan ditimpa kutukan. Ketiga, bukan saja masing-masing pihak dilarang melakukan perbuatan tercela kepada yang lain, akan tetapi juga terhadap kerajaan-kerajaan yang lain, ataupun orang-orang lain yang bukan penduduk Limboto dan Gorontalo. Tidak akan dimulai sesuatu tindakan, sebelum diadakan perundingan bersama terlebih dahulu. Keempat, kesulitan di masing-masing kerajaan tidak boleh diselesaikan sendiri. Dalam hal kesulitan di Limboto pembesar-pembesar Gorontalo akan ikut merundingkannya dan mencari penyelesaiannya, demikian pula sebaliknya. Kelima, dalam acara-acara persidangan yang dilakukan oleh sesuatu negeri harus mengikutsertakan pembesar dari kerajaan lain, mulai dari Raja, Jogugu, Kapitan Laut, Hakim atau salah seorang dari Wulea Lo Lipu. Jika dalam perkara diputuskan denda maka negeri penyelenggara pengadilan hanya mengambil sepertiga bagian dari denda tersebut, sedang dua pertiga bagian dari denda itu diberikan kepada negeri tamu. Keenam, rencana-rencana besar seperti pembangunan sebuah kota baru, dikerjakan dengan bantu-membantu. Ketujuh, utusan kerajaan lain tidak pernah diterima sendiri-sendiri, akan tetapi selalu oleh pembesar kedua kerajaan secara bersama-sama. Kedelapan, kalau ada anak buah Limboto yang memberontak maka mula-mula Limboto akan berusaha sendiri untuk menundukkan mereka. Kalau usaha ini tidak berhasil maka Limboto dan Gorontalo akan maju bersama-sama, demikian pula sebaliknya. Jika barang rampasan dikembalikan kepada negeri yang ditaklukkan pengembalian itu haruslah dilakukan bersama-sama oleh Limboto dan Gorontalo. Kesembilan, kedua kerajaan sepakat untuk meminta upeti dari rakyatnya masing-masing atau penduduk daerah taklukkannya yang tidak terlampaui haknya. Kalau seseorang yang diperintahkan untuk memungut upeti, meskipun ia raja sendiri, anak raja yang ditaklukkan membayar upeti maka Negara yang dimintai bantuan harus mendapatkan dua per tiga. Apabila terdapat Wulea lo lipu atau pembesar-pembesar menagih terlalu banyak atau terlalu sedikit maka ia akan didenda oleh suatu pengadilan bersama. Kesepuluh, penduduk di Teluk Tomini yang takluk kepada kedua kerajaan diambil dengan ketetapan bahwa batas pengaruh lingkungan masing-masing adalah Kepulauan Sausu-Masabuku dan Tamalate, masuk dalam lingkungan Gorontalo, sedangkan kepulauan Togian dan Nyuala termasuk dalam kerajaan Limboto.

Sumber: http://kejayaangorontalo.blogspot.com
Share this article :

0 komentar :

Posting Komentar

SEMUA TULISAN / ARTIKEL DALAM BLOG INI HANYA SEBAGAI BAHAN PELAJARAN ( IHTIBAR ) KARENA ORANG PINTAR ADALAH ORANG YANG MERASA DIRINYA BODOH SEHINGGA TIDAK BERHENTI MEMBACA DAN BELAJAR

 

Copyright © 2014 Nurulhuda Gorontalo - All Rights Reserved

Design By @OnaldBau