Home » » Dialog Ibnu Taimiyah - Ibnu Athaillah di Al-Azhar

Dialog Ibnu Taimiyah - Ibnu Athaillah di Al-Azhar

Written By NurulHuda on Selasa, 25 Juni 2013 | Selasa, Juni 25, 2013



Inilah barangkali percakapan yang cukup menarik dan patut ditampilkan antara dua orang cendekiawan terkemuka dalam sejarah Islam. Yang pertama adalah Imam Ahmad Taqiuddin Ibnu Taimiah, seorang faqih ternama yang pendapat-pendapatnya diikuti oleh banyak orang, dan yang kedua adalah imam Ahmad Ibnu Athaillah As-Sakandari, seorang sufi penyair yang juga banyak pengikutnya dan guru besar di Al-Azhar. Dua orang pakar dan budayawan yang sezaman dan hampir bersamaan usianya, yang pertama dilahirkan tahun 660 H di kota Harran, Syria (w. 728 H), dan yang kedua dilahirkan sekitar tahun 658 H di kota Al-Iskandariah (Alexandria), Mesir (w. 709 H)
Juga disebutkan dalam sejarah, bahwa yang pertama adalah “musuh bebuyutan” para sufi, dan yang kedua adalah wakil dan juru bicara para sufi waktu itu. Tak ayal lagi bahwa keduanya merupakan dua tokoh yang saling : “bertentangan” satu sama lain, sebagaimana akan kita lihat dalam tulisan berikut ini.
Kita tahu bahwa Ibnu Taimiah, sang faqih ini selalu dikenal sebagai pengecam para sufi. Kecaman-kecamannya yang amat pedas itu dituliskan dalam beberapa risalahnya, bahkan permusuhannya tarhadap para sufi, menurut sebagian pengamat, kadang-kadang terlalu berlebihan. Namun sebenarnya juga beliau mengakui, bahwa para sufi abad-abad pertama lahirnya tasawuf tak lain adalah para mujahid dan pejuang di jalan Allah dan mereka tidak melakukan sesuatu yang keluar dari Qur’an dan Sunnah.
Jadi sebenarnya ia tidak menolak tasawuf itu sendiri. Hanya saja para sufi di zamannya, menurut beliau, telah banyak menyimpang. Oleh sebab itu kata-kata seperti bid’ah dan syirik sudah biasa ia lontarkan pada mereka, bahkan tuduhan seperti sudah keluar dari Islam dan yang semacam itu telah pula ia lemparkan kepada tokoh-tokoh seperti Al-Hallaj, Al-Bustami, Ibnu Arabi, Ibnu’l Faridh, At-Tilmisani dan lain-lain. Mereka ini disebut sebagai orang-orang yang punya pandangan wahdah, hulul dan ittihad. Namun anehnya, tuduhan-tuduhan yang sama juga dikenakan kepada tokoh-tokoh seperti Abu’l Hasan Asy-Syadzili dan sementara muridnya, meskipun mereka ini sebenarnya jauh dari pandangan wahdah, hulul dan ittihad seperti tadi.
Begitulah, suatu hari di awal-awal tahun 700 H Ibnu Taimiah berkunjung ke Mesir. Sebagaimana di tempat asalnya Damaskus, di Kairo pun Ibnu Taimiah terus melancarkan kecaman dan kritik pedasnya terhadap para sufi. Orang Mesir pun mulai resah dan gelisah. Sejumlah orang mengadu kepada penguasa, agar Ibnu Taimiah disuruh pulang saja kembali ke tempat asalnya Damaskus atau ke kota Alexandria, atau kalau tidak ditahan. Ia telah membuat keretakan dan keresahan dalam masyarakat Mesir Ibnu Taimiah memilih ditahan. Namun pengikut-pengikut beliau menyarankan agar beliau ke kota Alexandria saja. Tak lama setelah mereka di Alexandria, mereka dipanggil kembali oleh penguasa baru ke Kairo.
Sore itu setibanya di Kairo Ibnu Taimiah salat maghrib di mesjid Al-Azhar. Selesai salat, baru tahu beliau bahwa Ibnu Athaillah telah makmum di belakangnya. Terjadilah percakapan antara kedua orang penting dan besar itu, yang kami terjemahkan dari buku Ibnu Taimiah, al-Faqih al Muadzdzab (lbnu Taimiah, Faqih yang Tersiksa) oleh penulis Mesir Abdurrahman Asy-Syarqawi.
Ibnu AthaiIIah (IA): “Saya biasa shalat Maghrib di mesjid Al-Husein dan shalat Isya di sini. Hm... lihatlah takdir Allah. Saya ditakdirkan untuk menjadi orang yang pertama kali bertemu Anda. Anda menyalahkan saya hai faqih?”
Ibnu Taimiah (IT): “Saya tahu bahwa Anda tidak bermaksud menyakiti saya, yang terjadi hanyalah perbedaan pendapat. Hanya saja orang-orang yang memang sengaja menyakiti saya, sejak hari ini telah lepas dari diri saya.”
Ibnu Athaillah (IA): “Apa yang Anda ketahui tentang diri saya hai Syeikh Ibnu Taimiah?”
Ibnu Taimiah (IT): “Saya tahu bahwa Anda seorang yang wara’, banyak ilmu, cerdas dan jujur, Saya bersaksi bahwa tidak pernah saya melihat di Mesir maupun di Syam seorang yang seperti Anda dalam hal cinta dan fana’nya kepada Allah, dan dalam hal ketaatannya terhadap perintah dan larangan-Nya. Namun bagaimanapun, terjadi perbedaan pendapat. Dan apa yang Anda ketahui tentang diri saya, sampai Anda menuduh saya sebagai telah sesat karena saya telah mengingkari istighatsah kepada selain Allah?”
Ibnu Athaillah (IA): “Saya heran kepada Anda hai faqih. Anda seorang pendukung Sunnah, hafal dan faham terhadap atsar-atsar, sempurna dalam pemikiran dan pemahaman. Namun Anda telah melancarkan ungkapan-ungkapan yang orang-orang dahulu dan sekarang menolak menggunakannya, hingga dalam hal ini Anda telah keluar dari madzhab imam Anda yaitu Imam Ahmad (ibnu Hanbal) dan madzhab imam-imam lainnya.”
Ibnu Taimiah (IT): “Orang yang fanatik pada madzhab tertentu, seperti orang yang kecanduan. Tujuan orang yang fanatik kepada suatu madzhab, agar dengan sendirinya ia bersikap bodoh terhadap ilmu, agama dan kodrat orang lain. Jadilah ia bersikap dhalim, dan Allah melarang manusia bersikap bodoh dan dhalim serta memerintahkan ilmu dan keadilan.
Kata Allah: “Dan manusia itu telah mengembannya (amanat), sungguh dia itu dhalim dan bodoh.” Lihat saja Abu Yusuf dan Muhammad yang kedua mereka itu murid paling setia dan paling tahu tentang pendapat-pendapat Abu Hanifah. Mereka itu berbeda pendapat dengan syeikhnya dalam banyak masalah yang hampir tak terhitung jumlahnya, setelah mereka tahu dari Sunnah dan argumen yang kuat sesuatu yang memang wajib mereka ikuti. Dalam hal ini mereka tetap menjunjung imam mereka. Dan saya mengatakan apa yang menurut saya ada dalilnya, tanpa pura-pura dan tanpa saya kita tak seorangpun dari fuqaha zaman ini ada yang lebih cinta dan lebih mengikuti langkah Rasulullah dari pada saya. Kalau saya tahu ada hadits sahit, saya akan mengambilnya dan saya tinggalkan pendapat-pendapat para imam. Begitu pulalah mereka menasehati diri mereka sendiri.”
Ibnu Athaillah (IA): “Apa belum tiba waktunya bagi Anda hai faqih untuk mengetahui bahwa istighatsah itu tak lain adalah wasilah dan syafa’ah, dan bahwa Rasulullah itu di mohonkan kepada beliau istighatsah, wasilah dan syafa’ah?”
Ibnu Taimiah (IT): “Dalam hal ini saya mengikuti Sunnah mulia itu. Dalam hadits sahih dinyatakan: telah sepakat bahwa ayat “semoga Tuhanmu akan memberimu kedudukan terpuji”, yang dimaksud dengan “kedudukan terpuji” itu tak lain adalah syafa’ah. Dan Rasulullah tatkala ibu Amirul Mukminin Ali r.a. meninggal, beliau berdoa kepada Allah di kuburnya: “Allah yang menghidupkan dan yang mematikan, Ia Maha Hidup dan tidak mati. Ampunilah bagi ibuku Fatimah binti Asad, luaskanlah baginya kuburnya, demi nabi-Mu dan para nabi sebelumku. Engkaulah yang Maha Pengasih”. Inilah syafa’ah. Adapun istighatsah di situ ada syubhat syirik kepada Allah, Oleh sebab itu dilarang, untuk mencegah perbuatan yang tidak dikehendaki. Kata Allah: “Janganlah kamu menyeru bersama Allah sesuatu yang lain.” Maha benar Allah. Dan Rasul menyuruh sepupunya Abdullah ibnu Abbas agar tidak minta tolong kepada selain Allah.”
Ibnu Athaillah (IA): “Semoga Allah memperbaikimu hai faqih. Adapun nasehat Rasul kepada Ibnu Abbas adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah dengan amal perbuatannya, bukan dengan kekerabatannya kepada Rasul. Adapun pemahamanmu bahwa istighatsah itu adalah permintaan tolong kepada selain Allah dan itu syirik, siapa di antara kaum muslimin yang beriman kepada Allah dan Rasulnya yang mengira bahwa selain Allah itu bisa melaksanakan qada’ dan qadar, memberi pahala dan siksa? Itu hanya istilah yang jangan hanya dilihat bentuk tersuratnya saja, dan tak perlu ditakutkan jadi syirik hingga harus dilarang agar tak terjadi suatu yang tidak diinginkan. Setiap orang yang istighatsah kepada Rasul, tak lain adalah minta syafa’ah padanya di sisi Allah, sebagaimana misalnya Anda berkata: ‘makanan ini telah mengenyangkan saya’. Apakah makanan itu yang mengenyangkan Anda ataukah Allah yang telah mengenyangkan Anda dengan makanan itu?
Adapun perkataan Anda bahwa Allah telah melarang kita menyeru selain-Nya, apa Anda pernah lihat seorang muslim yang menyeru selain Allah? Ayat tadi turun berkenaan dengan kaum musyrikin yang menyeru tuhan mereka selain Allah. Kalau kaum muslimin istighatsah kepada Nabi Muhammad Saw, tak lain adalah meminta wasilah, apa Anda perhatikan yang menjadi hak beliau di sisi Allah dan meminta syafa’ah yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Adapun pengharaman Anda atas istighatsah karena ia menuju pada syirik, bagaikan Anda mengharamkan buah anggur karena ia menuju kepada khamr. Atau bagaikan pengebirian kaum lelaki yang tidak kawin karena itu bisa menuju kepada zina”.
Kedua syeikh itu sama-sama tertawa. Dan Ibnu Athaillah kemudian melanjutkan:
Ibnu Athaillah (IA): “Saya tahu betapa luas pandangan syeikh Anda imam Ahmad, dan betapa luas pula cakupan pandangan fiqh Anda. Membendung ke arah yang tak dikehendaki (sad adzdzari’ah) dalam madzhab Anda disyaratkan sesuai kondisinya. Yang boleh bisa dilarang apabila mengakibatkan kerusakan yang kebanyakannya terjadi, seperti pengharaman penjualan senjata pada zaman di mana banyak fitnah. Atau pengharaman penaikan harga apabila dibayar secara nyicil, karena ditakutkan menuju riba.
Mengambil makna lahir saja kadang-kadang bisa menjerumuskan kita kepada kekeliruan, hai faqih. Antara lain pendapat Anda tentang Ibnu Arabi. Ia seorang imam agama yang wara’. Anda memahami tulisan-tulisannya secara lahiriah saja. Sedangkan para sufi itu mengatakan sesuatu sering dengan isyarat dan celotehan rohani.
Kata-kata mereka sering dimaksudkan yang tersirat maka orang seperti Anda yang pintar, cerdas dan mengetahui baik ilmu bahasa, hendaknya mencari makna yang tersembunyi di balik kata-kata yang tersurat.
Makna sufi itu seperti roh, dan kata-kata seperti jasad. Maka carilah di balik jasad agar Anda menemukan hakikat ruh. Lagi pula vonis Anda terhadap Ibnu Arabi didasarkan atas teks yang sengaja diselipkan oleh musuh-musuhnya.
Adapun syeikhul Islam Izzuddin Ibnu Abdissalam setelah memahami tulisan-tulisan syeikh Ibnu Arabi dan memecahkan simbol-simbol, misteri dan sugestinya, beliau segera minta ampun kepada Allah atas pendapat-pendapatnya sebelum itu. dan menyatakan bahwa Ibnu Arabi seorang imam kaum muslimin.
Share this article :

0 komentar :

Posting Komentar

SEMUA TULISAN / ARTIKEL DALAM BLOG INI HANYA SEBAGAI BAHAN PELAJARAN ( IHTIBAR ) KARENA ORANG PINTAR ADALAH ORANG YANG MERASA DIRINYA BODOH SEHINGGA TIDAK BERHENTI MEMBACA DAN BELAJAR

 

Copyright © 2014 Nurulhuda Gorontalo - All Rights Reserved

Design By @OnaldBau