Home » » Kenali Dirimu dan Kenali Tuhanmu sebelum beribadah

Kenali Dirimu dan Kenali Tuhanmu sebelum beribadah

Written By NurulHuda on Selasa, 27 Agustus 2013 | Selasa, Agustus 27, 2013



Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya.

Sebagaimana yang diketahui,bahawa ajaran Ahwal (suatu perolehan dengan kurnia) dan maqamat (suatu perolehan dengan usaha) yang semuanya itu ditujukan untuk memperbaiki akhlak. Sedang tujuan perbaiki akhlak adalah untuk membersihkan qalbu yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI).

Dengan demikian maka dapatlah difahamkan bahawa jalan untuk mengenal ALLAH ,tidak dapat ditempuh dengan sekaligus,tetapi adalah sesuai dengan peribadi masing masing iaitu harus ditempuh secara bertingkat tingkat.Pada tingkat untuk memasuki Ilmu Hakekat dan Ilmu Ma’rifat,berarti memasuki suatu jalan pengetahuan yang bertujuan untuk mengenal sesuatu itu dengan cara bersungguh sungguh,bahawa siapakah manusia itu,siapakah yang menjadikannya dan siapakah yang menciptakan sekalian itu. Ilmu Tasawwuf meringkaskan jalan pengetahuan ini dengan berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang bermaksud ”Barang siapa yang mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya.”

MENGENAL DIRI SENDIRI


Langkah pertama untuk mengenal diri sendiri ialah dengan mengetahui bahawa diri itu tersusun dari bentuk-bentuk lahir (yang disebut badan atau jasad) dan bentuk-bentuk bathin (yang disebut qalbu atau jiwa). Yang dimaksudkan dengan Qalbu itu bukanlah yang berupa segumpal daging yang berada disebelah kiri badan di bawah susu (yang dikatakan jantung). Tetapi dialah Roh suci dan berpengaruh di dalam tubuh dan dialah yang mengatur jasmani dan segenap anggota badan. Dialah Hakikat Insan Allah (yang dinamakan diri yang sebenarnya diri). Dialah yang bertanggung jawab dan dialah yang dipuji atau diseksa oleh Allah SWT.

Untuk meneliti dan mengenal diri sendiri itu, maka jasad dapat dimisalkan sebagai suatu kerajaan. Dan roh sebagai Rajanya yang berkuasa dan dialah yang mengatur jasmani. Jasmani adalah sebagai suatu Kerajaan dalam bentuk Alamuasyahadah atau Alam Nyata. Seluruh badan jasmani akan hancur binasa setelah mati, tetapi hakikat Roh dan jiwa tidak akan mati, ia tetap tinggal dalam Ilmu Allah. Dan Rohani / Jiwa adalah sebagai Raja dalam bentuk Alam Ghaib, maksudnya bahawa Roh / Jiwa itu adalah ghaib, keadaannya tidak terpisah-pisah, tidak terbatas oleh waktu dan ruang, tidak tentu tempatnya dalam sesuatu bahagian tubuh, oleh kerana itu maka setiap manusia adalah merupakan pemerintah di atas kerajaan kecil didalam dirinya sendiri. Sungguh benar sekali istilah yang menyebutkan bahawa ”Manusia itu adalah mikromos” atau dunia kecil dalam dirinya sendiri.

Sebahagian orang berpendapat bahawa hakekat Qalbu atau Roh itu dapat dicapai dengan cara memejamkan kedua matanya serta melupakan segala yang ada di sekitarnya, kecuali peribadinya. Dengan cara begitu akan dapat juga kilauan dari alam abadi kepada peribadinya (dalam mengenal dirinya). Tetapi bagaimanapun juga segala pertanyaan yang mendalam tentang hakikat Roh yang sesungguhnya, adalah tidak diizinkan oleh Allah Yang Maha Esa.

Didalam Quran Allah berfirman: ”Mereka itu bertanya kepada Engkau Muhammad, tentang Roh, katakanlah bahawa Roh itu urusan Tuhanku, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit saja” .(S. Isra 85) .

Apabila seseorang bertafakur atas dirinya sendiri, maka ia akan dapat mengetahui bahawa dirinya itu pada masa dahulunya, ”tidaknya pernah ada”. Firman Allah: ”Tidaklah manusia itu ingat bahawa kami menjadikannya dahulunya sedang ia belum ada suatu apapun”. Kemudian manusia itu akan mengetahui bahawa ia sebenarnya dijadikan dari setitis air (mani) yang tidak mempunyai akal sedikitpun, tidak mempunyai pendengaran, penglihatan, kaki, tangan, kepala dan sebagainya. Dari sinilah manusia akan mengetahui dengan terang dan nyata, bahawa tingkat kesempurnaan yang ia dapat capai bukanlah ia yang membuatnya, kerana sehelai rambut pun manusia itu tidak akan sanggup membuatnya.

Dengan jalan memikirkan hal tersebut diatas maka manusia itu dapat menemukan dirinya di dalam kejadian yang sangat kecil bila dibandingkan dengan Kekuasaan dan Kasih-Sayangnya Tuhan yang menjadikannya. Dan apabila manusia itu berfikir jauh maka ternyata didalam kehidupan ia memerlukan berbagai macam keperluan seperti makanan, pakaian, perumahan dan sebagainya ,yang kesemuanya itu telah tersedia lengkap didalam muka bumi ini. Disini manusia akan menjadi sedar akan sifat Rahman dan Rahimnya Allah yang begitu besar dan luasnya. Demikianlah alam dunia yang diciptakan Allah penuh dengan keajaiban keajaiban. Rangka jasad adalah bukti Kekuasaan dan KebijaksanaanNya dan penuh pula dengan berbagai-bagai alat kelengkapan yang dibuatNya sebagai tanda Kasih Sayang-Nya, pada keperluan hidup manusia, maka oleh kerana itu manusia akan mengetahui bahawa Allah itu ”ADA”. Oleh kerana itu benar-benar bahawa dengan penelitian dan pengenalan diri sendiri akan menjadi kunci bagi pengenalan Allah.



MENGENAL ALLAH

Bahagian yang penting dalam mengenal ALLAH, datangnya dari perbuatan perbuatan kita bagi mempelajari dan meneliti serta memikirkan diri sendiri, yang memberikan kepada kita kekuatan,kepandaian dan mencintai ciptaanNya. Sifat sifat manusia, bukan hanya menjadi gambaran dari sifat sifat ALLAH, tetapi juga ragam adanya jiwa manusia membawa keinsafan kepada pengertian adanya ALLAH. Maksudnya bahawa kedua duanya iaitu ALLAH dan ROH adalah ghaib, tidak terpisah, tidak terbilang, tidak berupa, tidak berbentuk, tidak berwarna dan tidak berukuran.

Manusia mendapat kesukaran dalam menerima gambaran tersebut, Tetapi kesukaran kesukaran itu sememangnya dirasakan oleh fikiran kita setiap masa seperti perasaan marah,sakit ,gembira dan cinta.Hal ini merupakan faham fikiran dan tidak dapat diketahui oleh otak kerana disebebkan oleh bentuk-dan ukurannya. Seperti halnya, telinga tidak dapat mengenal warna, mata tidak dapat mengenal suara dan begitu pula dalam mengertikan kenyataan kenyataan pokok yakni Tuhan dan Roh, Kita sendiri hanya dapat sampai pada batas batas yang dapat dicapai oleh akal fikiran dan selebihnya akal fikiran kita tidak sanggup lagi memikirkannya sebegitu jauh. Betapapun juga ,kita dapat melihat bahawa ALLAH itulah yang mengatur alam semesta dan Dia adalah tidak mengenal ruang dan waktu, tidak mengenal bentuk dan ukuran, yang memerintah segenap perkara demikian keadaannya.Sebagaimana yang telah dihuraikan,, ”ROH” tidak mempunyai tempat tertentu dalam sesuatu bahagian badan, tidak terpisah pisah,tidak mengenal bentuk dan ukuran tetapi ia memerintah “JASAD”. Demekianlah ALLAH, tidak mengenal ruang dan masa,tidak mengenal bentuk dan ukuran tetapi DIA memerintah Alam Semesta. Itulah Tuhan Yang Esa,Maha Kuasa,Maha Besar dan Maha Agung.

Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?

Kalau mengenal Allah sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.

Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.

Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya?
Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal.

Mengenal Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.
Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik global maupun terperinci.

Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190)

Juga dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164)

Mengenal Wujud Allah.

Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at.

Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya.
 

Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)

Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 41-45)

Mengenal Rububiyah Allah

Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14)

Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah.

Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)

Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.

Dalam masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?

Allah telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:

“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )

Kedua, agar mereka memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman:

“Dan mereka menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)

Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa firman-Nya:

“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87)

“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Al Ankabut: 61)

“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Al Ankabut: 63)

Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.

Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.

Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah.

Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini
menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.

Mengenal Uluhiyah Allah

Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an:

“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau:

“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Allah berfirman:
“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)
Allah berfirman:

“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)

Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya. Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu )

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )

Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.

Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah.”

Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah

Maksudnya, kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah:

“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)

“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)

Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36)

Ketika berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman:

“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33)

“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36)


CARA SYARIAT dan HAKIKAT BERHUBUNGAN DENGAN ALLAH
CARA HAKIKAT:
Selain dari cara syariat dan cara tarikat, ada satu lagi untuk menjembatani hubungan antara hamba dan Tuhannya yaitu cara jalan hakikat.Cara hakikat merupakan cara yang ketiga yaitu satu cara mendalami ilmu hakikat dengan menyelami dan mengenali diri sendiri, yang merupakan satu-satu jalan yang dilalui oleh Wali - Wali Allah, Ariffinbillah dan Para Aulia.

Mereka yang menjalani studi ilmu hakiki ini akan beriktiar dengan tekun dan tabah untuk merapatkan hubungan dengan dirinya dengan Allah SWT, dengan cara membongkar menyeliki dan menyaksikan diri sendiri yaitu diri rahasia yang di tanggung oleh dirinya dan berusaha untuk membentuk dinya menjadi kamil - mukamil.

Bagi mereka yang ingin melalui cara hakiki ini adalah di nasihatkan terlebih dahulu melalui cara Tarukat dan berhasil pula membersihkan dirinya dari dari segala bentuk syirik “Saghir”, syirik “khafi” dan dan syirik “jalli.” Mereka harus menjalani perguruan dengan guru - guru hakiki dan makrifat serta muryid yang memiliki pengetahuan yang luas serta mencapai pula ke tahap martabatnya. # Untuk pengetahuan lebih jelas silalah bertanya dengan guru - guru, makrifat lagi mursyid.

Orang - orang hakiki yang sampai pada martabatnya bukan saja mulia di sisi Allah malah mendapat pula kemuliannya di tengah masyarakat. Adalah perlu ditegaskan di sini tujuan akhir studi HAKIKAT adalah untuk megembalikan diri Asal Mu Mulai Allah yaitu pada Zahir dan Batin yakni pada diri lahir dan diri batin pada martabat kemuliaan insan Kamil mukamil. Tidak ada sesuatu pun pada dirinya kecuali Allah semata - mata. Dan balik mu kembali Allah.

Untuk itu studi hakikat ini harus ada kesinambungan dengan pengajian Makrifat. Sesungguhnya kata hakikat dan makrifat dua kata yang tidak bisa di pisahkan.

1.ALAM TUJUH / LANGIT TUJUH

Dalam memperkatan Alam Tujuh atau LANGIT Tujuh ini, ia tidak lepas dari mengatakan “Asal Mu Mulai Balik Kembali Pada Tuhan” Ini di sandarkan firman Nya yang artinya;

“Innalillah Wa inna ilai-i rajiun.”

Jatuh hujunnya Asal Mu Allah Balik Mu semula Allah.

Jadi disini dua aspek utama dikatakan;

1.Asal Kejadian Manusia yang dinyatakan melalui penjelasan pada Martabat Tujuh Atau Martabat Alam Insan.
2. Balik Mu semula Allah yaitu membicarakan persiapan untuk menyarah atau mengembalikan Diri rahasia yang di kandung oleh jasad sebagaimana aslinya disucikan.

Diri Empunya Diri mentajallikan dirinya dari satu martabat ke satu martabat atau dari satu alam ke satu per alam.Dalam kita membicarakan alam atau Martabat Tujuh atau Martabat Alam Insan yang dikenal juga Martabat tujuh, terdapat ia di dalam Surah Al-Ikhlas di dalam Al Quran yaitu dalam menyatakan tentang keberadaan Allah yang menjadi diri rahasia kepada manusia itu sendiri dan mengatakan pada proses pengujudan Allah untuk diterima oleh manusia sebagai diri rahasianya.

Proses transfer atau Tajalli Zat Allah SWT dimulai dari Alam Qaibbul-Quyyub, terbentuk diri lahir dan diri batin manusia ketika ia mulai bernafas di dalam kandungan ibu kemudian lahir ke dunia yaitu karena pada martabat Qaibbul-Guyyub adalah merupakan martabat manusia yang paling tingggi, suci dan inilah martabat yang benar-benar di ridhai oleh Allah SWT

Diri manusia pada martabat “Insannul-Kamil” adalah sebuah diri yang suci mutlak pada zahir dan batin, tidak cacat celanya dengan Allah SWT yaitu Tuan Empunya Rahasia. Karena itu Rasul Allah SAW pernah menegaskan dalam sabdanya;

“Bahwa kelahiran seseorang anak itu dalam kondisi yang suci, tetapi yang mencorakkannya menjadi kotor adalah orang tuanya”

Jadi ibubapalah yang mencorakkan sehingga anak kotor termasuk masyarakatnya, bangsanya dan juga negaranya bersekali dengan manusia itu sendiri hanyut mengikuti gelombang godaan hidupnya di dunia ini.

Karena itu adalah menjadi kewajiban seorang manusia yang ingin kembali menuju jalan kesucian dan makrifat kepada Tuhannya, selayaknyalah dia mengembalikan dirinya ke suatu tingkat yang dikenal “Kamilul-Kamil” atau di namakan tahap Martabat Alam Insan.

Dalam merkatakan tingkatan atau martabat pentajallian Allah Tuan Yang Empunya Diri yang menjadi rahasia manusia itu melalui tujuh tingkatan.Tingkatan tersebut biasanya seperti di bawah.

1.Ahadah-Alam Lahut-Martabat Zat

2.Wahdah-Alam Jabarut - Martabat Sifat

3.Wahdiah-Alam Wahdiah - Martabat Asma

4.Alam Roh-alam malakut-Martabat Afaal

5.Alam Misal - Alam Bapa

6.Alam Ijsan-Alam Ibu

7.Alam Insan - Alam Nyata

AL-IKHLAS

1.ALAM / LANGIT TUJUH

1.1 ALAM AHDAH

Pada membicarakan Alam Qaibull-Quyyub yaitu pada martabat Ahdah di mana belum ada sifat, belum ada ada asma ‘, belum ada afaal dan belum ada apa-apa lagi yaitu pada Martabat LA TAKYIN, Zat UlHaki telas menegaskan untuk memperkenalkan DiriNya dan untuk diberi tanggungjawab ini kepada manusia dan di tajallikanNya DiriNya dari satu tingkat ke tingkat sampai zahirnya manusia berbadan rohani dan jasmani.

Adapun Martabat Ahdah ini terkandung ia di dalam Al-Ikhlas pada ayat pertama yaitu {QulhuwallahuAhad), yaitu Sa pada Zat semata-mata dan inilah dinamakan Martabat Zat. Pada martabat ini diri Empunya Diri (Dzat Ulhaki) Tuhan RabbulJalal adalah dengan dia semata-mata yaitu di namakan juga Diri Sendiri. Tidak ada awal dan tidak akhirnya yaitu Wujud Hakiki Lagi Khodim

Pada masa ini tida sifat, tida Asma dan tida Afa’al dan tidak apa-apa pun kecuali Zat Mutlak semata-mata maka berdirilah Zat itu dengan Dia semata-mata dai dalam keadaan ini dinamakan AINUL KAFFUR dan diri zat dinamakan Ahdah jua atau di namakan KUNNAH ZAT.

1.2 ALAM WADAH

Alam Wahdah merupakan tingkat kedua dalam proses pentajalliannya diri Empunya Diri telah mentajallikan diri ke suatu martabat sifat yaitu “La Tak Yin Sani” - sabit nyata yang pertama atau disebut juga martabat titik mutlak yaitu ada permulaannyan.

Martabat ini di namakan martabat titik mutlak atau disebut juga Sifat Muhammadiah. Juga pada menyatakan martabat ini dinamakan martabat ini Martabat Wahdah yang terkandung ia pada ayat “Allahus Shomad” yaitu tempatnya Zat Allah tidak tersembunyi sedikit pun meliputi 7 petala langit dan 7 bumi.

Pada tingkat ini Zat Allah Taala mulai bersifat. Sifatnya itu adalah sifat batin jauh dari Nyata dan bisa di umpamakan pohon besar yang subur yang masih di dalam dalam biji, tetapi ia telah ada, tdadak nyata, tetapi nyata sebab itulah ia di sebut Sabit Nyata Pertama martabat La Takyin Awwal yaitu kondisi nyata tetapi tidak nyata (ada pada Allah) tetapi tidak lahir

Maka pada tingkat ini tuan Empunya Diri tidak lagi Beras’ma dan di tingkat ini terkumpul Zat Mutlak dan Sifat Batin. Maka di saat ini tidaklah berbau, belum ada rasa, belum nyata di dalam nyata yaitu di dalam keadaan apa yang di kenali ROH-ADDHAFI.Pada tingkat ni sebenarnya pada Hakiki Sifat. (Kesempurnaan Sifat) Zat Al Haq yang di tajallikannya itu telah sempurna cukup lengkap segala. Ini terhimpunan dan tersembunyi di samping telah lahir dalam praktik.

1.3 ALAM WAHDIAH

Pada tingkat ketiga setelah tajalli akan dirinya pada tingkat “La takyin Awal”, maka Empunya Diri kepada Diri rahasia manusia ini, mentajallikan pula diriNya ke satu martabat As’ma yak ini pada martabat segala Nama dan dinamakan martabat (Muhammad Munfasal) yaitu kondisi terhimpun lagi bercerai - cerai atau di namakan “Hakikat Insan.”

Martabat ini terkandung ia didalam “Lam yalidd” yaitu Sifat Khodim lagi Baqa, tatkala menilik wujud Allah. Pada martabat ini kondisi tubuh diri rahasia pada masa ini telah terhimpun dalam praktik Zat, Sifat Batin dan Asma Batin. Apa yang dikatakan berkumpul lagi bercerai-cerai karena pada tingkat ini sudah dapat di tentukan bangsa masing - masing tetapi saat ini ia belum lahir lagi di dalam Ilmu Allah yaitu dalam kondisi “Ainul Sabithaah”. Artinya sesuatu keadaan yang tetap dalam rahasia Allah, belum terzahir, bahkan untuk mencium baunya pun belum dapat lagi. Dinamakan juga martabat ini ada Ardhofi dan martabat wujud Am karena ada di dalam sekelian bangsa dan adanya mengandalkan Zat Allah Dan Ilmu Allah.

Pada tingkat ini juga telah terbentuk diri rahasia Allah dalam hakiki dalam batin yaitu bisa dikatakan juga roh di dalam roh yaitu pada menyatakan Nyata tetapi Tetap Tidak Nyata.

1.4 ALAM ROH

Pada tingkat ke empat di dalam Empunya Diri, Dia menyatakan, mengolahkan diriNya untuk membentuk batang tubuh halus yang dinamaka roh. Jadi pada tingkat ini dinamakan Martabat Roh pada Alam Roh.Tubuh ini merupakan tubuh batin hakiki manusia dimana batin ini sudah nyata zatnya, Sifatnya dan Afa’alnya. Ini menjadi sempurna, cukup lengkap seluruh anggota - anggota batinnya, tida cacat, tidak cela dan kondisi ini dinamakan (Alam Khorijah) yaitu Nyata lagi lahir pada hakiki dari Ilmu Allah. Tubuh ini dinamakan ia “Massa Latiff” yaitu satu batang tubuh yang disket lagi halus. Ini tidak akan mengalami cacat dan tidak mengalami suka, duka, sakit, menangis, asyik dan hancur binasa dan inilah yang dinamakan “KholidTullah.”

Pada martabat ini terkandung ia di dalam “Walam Yalidd”. Dan berdirilah ia dengan diri tajalli Allah dan hiduplah ia selamanya. Inilah yang dinamakan kondisi Tubuh Hakikat Insan yang memiliki awal tidak kesudahannya, dialah yang sebetulnya dinamakan Diri Nyata Hakiki Rahasia Allah dalam Diri Manusia.

1.5 ALAM MISAL

Alam Misal adalah tingkat ke lima dalam proses pentajallian Empunya Diri dalam menyatakan rahasia diriNya untuk di tanggung oleh manusia. Untuk menyatakan dirinya Allah SWT, terus menyatakan diriNya melalui diri rahasianya dengan lebih nyata dengan membawa diri rahasianya untuk di kandung pula oleh bapak yaitu dinamakan Alam Misal.

Untuk menjelaskan lagi Alam Misal ini adalah dimana unsur rohani yaitu diri rahasia Allah belum bercamtum dengan badan material. Alam misal jenis ini di alam malakut. Ia merupakan transisi dari alam Arwah (alam Roh) menuju ke alam Nasut maka itu dinamakan ia Alam Misal di mana proses peryataan ini, pengujudan Allah pada martabat ini belum lahir, tetapi Nyata dalam tidak Nyata.

Diri rahasia Allah pada martabat Wujud Allah ini mulai di tajallikan ke ubun - ubun bapa, yaitu permidahan dari alam roh ke alam Bapa (misal).

Alam Misal ini terkandung ia di dalam “Walam yakullahu” dalam surat Al-Ikhlas yaitu dalam kondisi tidak bisa di bagaikan. Dan seterusnya menjadi “DI”, “Wadi”, “Mani” yang kemudian di salurkan ke satu tempat yang berafiliasi di antara diri rahasia batin (ruh) dengan diri kasar Hakiki di dalam tempat yang disebut rahim ibu.Maka terbentuklah apa yang di katakan ” Maknikam “ketika terjadi bersetubuhan diantara laki-laki dengan perempuan (Ibu dan Bapak)

Perlu diingat tubuh rahasia pada masa ini tetap hidup sebagaimana awalnya tetapi di dalam kondisi rupa yang elok dan tidak binasa dan belum lagi lahir. Dan ia tetap hidup tidak mengenal ia akan mati.

1.6 ALAM IJSAN

Pada tingkat ke enam, setelah saja rahasia diri Allah pada Alam Misal yang di kandung oleh bapak, maka berpindah pula diri rahasia ini melalui “Mani” Bapa ke dalam Rahim Ibu dan inilah dinamakan Alam Ijsan.

Pada martabat ini dinamakan ia pada martabat “InssanulKamil” yaitu batang diri rahasia Allah telah diKamilkan dengan kata diri manusia, dan akhirnya ia menjadi “KamilulKamil”. Yaitu menjadi satu pada zahirnya kedua badan rohani dan jasmani. dan kemudian lahirlah seoarang manusia melalui vagina ibu dan sesungguhnya martabat anak - anak yang baru dilahirkan itu adalah yang paling suci yang dinamakan “InnsanulKamil”. Pada martabat ini terkandung ia di dalam “Kuffuan” yaitu bersekutu dalam kondisi “KamilulKamil dan nyawa pun di masukkan dalam tubuh manusia.

Setelah cukup tempuhnya dan ketkanya maka diri rahasia Allah yang menjadi “KamilulKamil” itu di lahirkan dari perut ibunya, maka di saat ini sampailah ia Martabat Alam Insan.

1.7 ALAM INSAN

Pada alam ke tujuh yaitu alam Insan ini terkandung ia di dalam “Minggu” yaitu sa (satu). Di dalam kondisi ini, maka berkumpullah seluruh proses pengujudan dan peryataan diri rahasia Allah SWT di dalam tubuh Insan yang mulai bernafas dan di lahirkan ke Alam Maya yang Fana ini. Maka pada alam Insan ini dapatlah di katakan satu alam yang mengumpulkan seluruh proses pentajallian diri rahasia Allah dan pengumpulan seluruh alam-alam yang di tempuh dari satu tingkat ke satu tingkat dan dari satu martbat ke satu martabat.

Karena merupakan satu perkumpulan seluruh alam - alam lainnya, maka mulai alam maya yang fana ini, mulailah tugas manusia untuk menggembalikan balik diri rahasia Allah itu kepada Tuan Empunya Diri dan proses penyerahan kembali rahasia Allah ini harus bermulah dari alam Maya ini lantaran itu persiapan untuk balik kembali asalnya mulai kembali mu kembali harus disegerakan tanpa berlengah - lengah lagi.

2.TUJUAN martabat alam INSAN

1.Ada pun tujuan utama pengkajian dan keyakinan Martabat Alam Insan ini;

2 “bertujuan memahami dan memegang satu keyakinan Mutlak bahwa diri kita ini sebenar - benarnya bukanlah diri kita, tetapi kembalikan kembali asalnya Tuhan.”

3.Dengan kata lain untuk memperpanjang studi, kita juga dapat mengetahui pada hakikatnya dari mana asal mula diri kita sebenarnya sampai kita lahir di alam maya ini.

4.Dalam pada itu dapat pula kita mengetahui pada hakikatnya kemana diri kita harus kembali dan:

5.Apakah tujuan sebenarnya diri kita di lahirkan.

3.Dalam mengatakan Martabat Alam Insan

Dengan memahami Martabat Alam Insan ini, maka sudah pastilah kita dapat mengetahui bahwa diri kita ini adalah sifatnya Allah Taala semata. Diri sifat yang di tajallikan untuk menyatakan sifatnya Sendiri yakni pada Alam Saghir dan Alam Kabir.Dan Allah Taala Memuji DiriNya dengan Asma’Nya Sendiri dan Allah Taala menguji dirinya sendiri dengan Afa’alNya Sendiri.

Dalam memeperkatakan Martabat Alam Insan kita mengatakan diri kita sendiri. Diri kita dari sifat Tuhan yang berasal dari Qaibull-Quyyub (Martabat Ahdah) yaitu pada martabat Zat sampai lahir kita bersifat dengan sifat bangsa Muhammad. Dengan demikian ada atau zahirnya kita ini bukan sekali-kali diri kita, tetapi sebenarnyadiri kita ini adalah laporan kepada diri Tuhan semesta alam semata.

Seperti Firman:

‘INNALILLA wainna ILAII rajiun’

Yang berarti; “Sesungguhnya diri mu itu Allah (Tuhan Asal Diri Mu) dan harus pulang menjadi Tuhan kembali”.

Setelah mengetahui dan memahami secara jelas lagi terang bahwa asal kita ini adalah Tuhan pada Martabat ahdah dan nyatanya kita sebagai sifatnya pada Martabat Alam Insan dan pada Alam Insan inilah kita memulai langkah untuk mensucikan sifat diri kita ini pada martabat Sifat kepada Martabat Tuhan kembali yaitu asal mula diri kita sendiri atau Martabat Zat.

Sesungguhnya Allah SWT diri kita pada Martabat Ahdah menyatakan diriNya dengan sifatnya Sendiri dan memuji sifatnya Sendiri dengan asmanya Sendiri serta menguji sifatnya dengan afa’alNya Sendiri. Sesungguhnya tiada sesuatu sebenarnya pada diri kita kecuali diri Sifat Allah, Tuhan semesta semata - mata.

…. Sekian peryataan kuliah ini akan di sambung di lain kali. Walikutubkulubbullah <21/08/2004>

4.PROSES MENGEMBALIKAN DIRI

Dalam proses menyucikan diri dan mengembalikan rahasia kepada Tuan Empunya Rahasia, maka manusia itu harus meningkatkan kesuciannya sampai ke tingkat asal kejadian rahasia Allah Taala.

Manusia ini sebenarnya harus menjelajahi dan melalui dari Alam Insan pada nafsu amarah ke Martabat Zat yaitu nafsu Kamaliah yaitu makam “Izzatul-Ahdah”. Lantaran itulah tugas manusia harus mengenal hakikat diri ini lalu balik untuk mengembalikan amanah Allah SWT tersebut sebagaimana mula proses penerimaan amanahnya pada awalnya.

Sesunggunya Allah dalam mengenalkan diriNya melalui lidah dan hati manusia, maka Dia telah mentajallikan DiriNya menjadi rahasia kepada diri manusia. Sebagaimana dikatakan dalam hadits Qudsi;

“AL Insanul SIRRUHU WA ANA SIRRUHU”

Maksudnya; “Manusia itu adalah rahasiaku dan aku adalah rahasia manusia itu sendiri”.

HAKIKAT

ALAM TUJUH / LANGIT TUJUH LAPIS

Tentang ALAM TUJUH atau LANGIT TUJUH mrupakan suatu Lainnya pengujudan diri pada rahasia Allah SWT itu terbagi ia kepada 7 Alam;
Ke tujuh langit atau alam ini terkandung ia di dalam surat-Al Ikhlas
QulhuwallahuAhad - Ahdah
Allahushomad - Wahdah
Lamyalidd - Wahdiah
Walamyuladd - Alam Roh (alam malakut)
Walamyakullahu - Alam Misal (Alam Bapa)
Kuffuan - Alam Ijsan
Ahad> - Alam Insan
Seperti Firman lagi dalam Al-Quran

[33] Setelah diketahui demikian maka tidaklah patut disamakan Allah Tuhan yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya diri-diri itu, (dengan makhluk yang tidak bersifat demikian). Dalam pada itu, mereka yang kafir telah membuat beberapa makhluk sebagai sekutu bagi Allah. Katakanlah (wahai Muhammad): Sebutkanlah sifat-sifat akan mereka (yang kamu sembah itu). Atau apakah kamu hendak memberitakan kepada Allah apa yang tidak diketahui di bumi? Atau apakah kamu menyebutnya dengan kata-kata yang lahir (sedang pada hakikatnya tidak demikian)? Bahkan sebenarnya telah diperhiaskan oleh Iblis untuk orang-orang yang kafir itu akan kekufuran dan tipu daya mereka (terhadap Islam) dan mereka diblokir oleh hawa nafsu mereka dari menurut jalan yang benar dan (ingatlah) siapa yang disesatkan Allah (dengan pilihannya yang salah ) maka tidak ada seorangpun yang dapat memberi petunjuk.
Surah Al-A’Rad Ayat: 33

NUR, MATA HATI DAN HATI

NUR-NUR ILAHI ADALAH KENDERAAN HATI DAN RAHASIA HATI. NUR itu adalah TENTERA HATI, SEBAGAIMANA KEGELAPAN ADALAH TENTERA NAFSU. JIKA ALLAH SWT MAU menolong HAMBA-NYA MAKA DIBANTU DENGAN TENTERA ANWAR (NUR-NUR) dan dihentikan BEKALAN KEGELAPAN. NUR ITU BAGINYA menerangi (MEMBUKA tutupan), MATA HATI ITU BAGINYA MENGHAKIMKAN DAN HATI ITU baginya menghadap ATAU MEMBELAKANG.

Allah hanya bisa dikenal jika Dia sendiri mau Dia dikenal. Jika Dia mau memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya maka hati hamba itu akan dipersiapkan dengan mengurniakannya Warid. Hati hamba diterangi dengan Nur-Nya. Tidak mungkin mencapai Allah tanpa dorongan yang kuat dari Nur-Nya. Nur-Nya adalah kendaraan bagi hati untuk sampai ke Hadrat-Nya. Hati adalah umpama badan dan roh adalah nyawanya. Roh pula terkait dengan Allah dan hubungan itu disebut as-Sir (Rahasia). Roh menjadi nyawa bagi hati dan Sir menjadi nyawa kepada roh. Bisa juga dikatakan bahwa hakikat ke hati adalah roh dan hakikat kepada roh adalah Sir. Sir atau Rahasia yang sampai kepada Allah dan Sir yang masuk ke Hadrat-Nya. Sir yang mengenal Allah s.w.t. Sir adalah hakikat kepada sekalian yang maujud.

Nur Ilahi menerangi hati, roh dan Sir. Nur Ilahi membuka bidang hakikat-hakikat. Amal dan ilmu tidak mampu menyingkap rahasia hakikat-hakikat. Nur Ilahi yang berperan menyingkap tabir hakikat. Orang yang mengambil hakikat dari buku-buku atau dari ucapan orang lain, bukanlah hakikat yang ditemuinya, tetapi hanyalah perkiraan dan khayalan semata. Jika mau mencapai hakikat harus mengamalkan wirid sebagai pembersih hati. Kemudian bersabar menanti sambil terus juga berwirid. Jika Allah kehendaki Warid akan didatangkan-Nya kepada hati yang asyik dengan wirid itu. Itulah kemenangan yang besar bisa dicapai oleh seseorang hamba selama hidupnya di dunia ini.

Alam ini pada hakikatnya adalah gelap. Alam menjadi terang karena ada kenyataan Allah padanya. Misalkan kita berdiri di atas puncak sebuah bukit pada waktu malam yang gelap gulita. Apa yang terlihat hanyalah kegelapan. Ketika hari siang, matahari menyinarkan sinarnya, kelihatanlah tanaman dan hewan yang menghuni bukit itu. Keberadaan di atas bukit itu menjadi nyata karena diterangi oleh cahaya matahari. Cahaya menampakkan keberadaan dan gelap pula membungkusnya. Jika kegelapan hanya sedikit maka keberadaan terlihat samar. Jika kegelapan itu tebal maka keberadaan tidak terlihat lagi. Hanya cahaya yang dapat menampakkan adanya, karena cahaya dapat menghalau kegelapan. Jika cahaya matahari dapat menghalau kegelapan yang menutupi benda-benda alam yang nyata, maka cahaya Nur Ilahi pula dapat menghalau kegelapan yang menutupi hakikat-hakikat yang gaib. Mata di kepala melihat benda-benda alam dan mata hati melihat kepada hakikat-hakikat. Banyaknya benda alam yang dilihat oleh mata karena banyaknya cermin yang membalikkan cahaya matahari, sedangkan cahaya hanya satu jenis saja dan datangnya dari matahari yang satu jua. Begitu juga halnya pandangan mata hati. Mata hati melihat banyaknya hakikat karena banyaknya cermin hakikat yang membalikkan cahaya Nur Ilahi, sedangkan Nur Ilahi datangnya dari nur yang satu yang bersumberkan Zat Yang Maha Esa.

Kegelapan yang menutupi mata hati menyebabkan hati terpisah dari kebenaran. Hatilah yang tertutup sedangkan kebenaran tidak tertutup. Dalil atau bukti yang dicari bukanlah untuk menyatakan kebenaran tetapi adalah untuk mengeluarkan hati dari lembah kegelapan kepada cahaya yang terang benderang untuk melihat kebenaran yang memang tersedia ada, bukan mencari kebenaran baru. Cahayalah yang menerangi atau membuka tutupan hati. Nur Ilahi adalah cahaya yang menerangi hati dan mengeluarkannya dari kegelapan dan membawanya menyaksikan sesuatu dalam keadaannya yang asli. Bila Nur Ilahi sudah membuka tutupan dan cahaya terang telah bersinar maka mata hati dapat memandang kebenaran dan keaslian yang selama ini disembunyikan oleh alam nyata. Bertambah terang cahaya Nur Ilahi yang diterima oleh hati bertambah jelas kebenaran yang dapat dilihatnya. Pengetahuan yang diperoleh melalui pandangan mata hati yang bersuluhkan Nur Ilahi dinamakan ilmu laduni atau ilmu yang diterima dari Allah secara langsung. Kekuatan ilmu yang diperoleh tergantung pada kekuatan hati menerima cahaya Nur.

Ilahi.

Murid yang masih pada tahap permulaan hatinya belum cukup bersih, maka cahaya Nur Ilahi yang diperoleh tidak begitu terang. Jadi ilmu laduni yang diperoleh masih belum mencapai tingkat yang halus-halus. Pada tingkat ini hati bisa mengalami kekeliruan. Terkadang hati menghadap ke yang kurang benar dengan membelakangi yang lebih benar. Orang yang pada tingkat ini perlu mendapatkan penjelasan dari ahli makrifat yang lebih arif. Bila hatinya semakin bersih cahaya Nur Ilahi semakin bersinar meneranginya dan dia mendapat ilmu yang lebih jelas. Lalu hatinya menghadap ke yang lebih benar, sampai dia menemukan kebenaran hakiki.


TERBUKA MATA HATI hanya memberikan AKAN HAMPIRNYA ALLAH SWT Penyaksian MATA HATI hanya memberikan akan ketiadaan KAMU DI SAMPING WUJUD ALLAH SWT Penyaksian HAKIKI MATA HATI hanya memberikan HANYA ALLAH YANG WUJUD, TIDAK TERLIHAT LAGI ketiadaan KAMU DAN WUJUD KAMU.
Bila hati sudah menjadi bersih maka hati akan menyinarkan cahayanya. Cahaya hati ini dinamakan Nur Kalbu. Ia akan menerangi akal lalu akal dapat memikirkan dan merenungi tentang hal-hal ketuhanan yang menguasai alam dan juga dirinya sendiri. Renungan akal terhadap dirinya sendiri membuatnya menyadari akan perjalanan hal-hal ketuhanan yang menguasai dirinya. Kesadaran ini membuatnya merasakan dengan mendalam betapa hampirnya Allah dengannya. Lahirlah di dalam hati nuraninya perasaan bahwa Allah selalu mengawasinya. Allah melihat segala gerak-geriknya, mendengarkan pertuturannya dan mengetahui bisikan hatinya. Jadilah dia seorang Mukmin yang cermat dan waspada.

Di antara sifat yang dimiliki oleh orang yang sampai ke martabat Mukmin adalah:
1: Cermat dalam pelaksanaan hukum Allah s.w.t.

2: Hati tidak cenderung kepada harta, merasa cukup dengan apa yang ada dan tidak sayang membantu orang lain dengan harta yang dimilikinya.

3: Bertaubat dengan sebenarnya (taubat nasuha) dan tidak kembali lagi ke kejahatan.

4: rohaninya cukup kuat untuk menanggung kesulitan dengan sabar dan bertawakal kepada Allah

5: Kehalusan kerohaniannya membuatnya merasa malu kepada Allah dan merendah diri kepada-Nya.

Orang Mukmin yang taat kepada Allah swt, kuat melakukan ibadat, akan meningkatlah kekuatan rohaninya. Dia akan kuat melakukan tajrid yaitu menyerahkan urusan kehidupannya kepada Allah Dia tidak lagi khawatir terhadap sesuatu yang menimpanya, walaupun bala yang besar. Dia tidak lagi menempatkan ketergantungan kepada sesama makhluk. Hatinya telah teguh dengan perasaan reda terhadap apa yang ditentukan Allah untuknya. Bala tidak lagi menggugat imannya dan nikmat tidak lagi menggelincirkannya. Baginya bala dan nikmat adalah sama yaitu takdir yang Allah tentukan untuknya. Apa yang Allah takdirkan itulah yang paling baik. Orang yang seperti ini selalu di dalam penjagaan Allah karena dia telah menyerahkan dirinya kepada Allah swt Allah karuniakan kepadanya kemampuan untuk melihat dengan mata hati dan bertindak melalui Petunjuk Laduni, tidak lagi melalui pikiran, kehendak diri sendiri atau angan-angan. Pandangan mata hati kepada hal ketuhanan mempengaruhi hatinya (kalbu). Dia mengalami suasana yang menyebabkan dia menyangkal keberadaan dirinya dan diisbatkannya kepada Wujud Allah Suasana ini timbul akibat hakikat ketuhanan yang dialami oleh hati .. Dia merasa benar-benar akan keesaan Allah bukan sekedar mempercayainya.

Pengalaman tentang hakikat dikatakan memandang dengan mata hati. Mata hati melihat atau menyaksikan keesaan Allah dan hati merasakan akan keadaan keesaan itu. Mata hati hanya melihat kepada Wujud Allah, tidak lagi melihat ke wujud dirinya. Orang yang di dalam suasana seperti ini telah berpisah dari sifat-sifat kemanusiaan. Dalam keadaan demikian dia tidak lagi mengindahkan aturan masyarakat. Dia hanya mementingkan soal perhubungannya dengan Allah Soal duniawi seperti makan, minum, pakaian dan pergaulan tidak lagi mendapat perhatiannya. Kelakuannya bisa menyebabkan orang mengira dia sudah gila. Orang yang mencapai tingkat ini dikatakan mencapai makam tauhid sifat. Hatinya jelas merasakan bahwa tidak ada yang berkuasa melainkan Allah dan segala sesuatu datangnya dari Allah

Rohani manusia melalui beberapa peningkatan dalam proses mengenal Tuhan. Pada tahap pertama terbuka mata hati dan Nur Kalbu memancar menerangi akalnya. Seorang Mukmin yang akalnya diterangi Nur Kalbu akan melihat betapa hampirnya Allah Dia melihat dengan ilmunya dan mendapat keyakinan yang dinamakan ilmul yaqin. Ilmu berhenti di situ. Pada tahap keduanya mata hati yang terbuka sudah bisa melihat. Dia tidak lagi melihat dengan mata ilmu tetapi melihat dengan mata hati. Kemampuan mata hati memandang itu dinamakan kasyaf. Kasyaf melahirkan identitas atau makrifat. Seseorang yang berada di dalam makam makrifat dan mendapat keyakinan melalui kasyaf dikatakan memperoleh keyakinan yang dinamakan ainul yaqin. Pada tahap ainul yaqin makrifatnya gaib dan dia juga gaib dari dirinya sendiri. Maksud ghaib di sini adalah hilang perhatian dan kesadaran terhadap sesuatu hal .. Beginilah hukum makrifat yang terjadi.

Makrifat lebih tinggi nilainya dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah pencapaian terhadap persoalan yang terpecah-pecah bidangnya. Makrifat pula adalah hasil pencapaian terhadap hakikat-hakikat yang menyeluruh yaitu hakikat kepada hakikat-hakikat. Tetapi, penyaksian mata hati jauh lebih tinggi dari ilmu dan makrifat karena penyaksian itu adalah hasil dari kemauan keras dan perjuangan yang gigih disertai dengan upaya hati dan pengalaman. Penyaksian (shahadul Haq) adalah setinggi-tinggi keyakinan. Penyaksian yang paling tinggi adalah penyaksian hakiki oleh mata hati atau penyaksian yang haq. Ia merupakan keyakinan yang paling tinggi dan dinamakan haqqul yaqin. Pada tahap penyaksian hakiki mata hati, mata hati tidak lagi melihat ke ketiadaan dirinya atau keberadaan dirinya, tetapi Allah dilihat dalam segala sesuatu, segala kejadian, dalam diam dan dalam tutur-kata. Penyaksian hakiki mata hati melihat-Nya tanpa dinding penutup antara kita dengan-Nya. Tidak ada lagi antara atau ruang antara kita dengan Dia.

Dia berfirman:

“Dan Ia (Allah) tetap bersama-sama kamu di mana saja kamu berada.”
(Ayat 4: Surah al-Hadiid)

Dia tidak terpisah dari kamu. Penyaksian yang hakiki adalah melihat Allah dalam segala sesuatu dan pada setiap waktu. Pandangannya terhadap makhluk tidak menutup pandangannya terhadap Allah Inilah makam keteguhan yang dipenuhi oleh ketenangan dan kedamaian yang sejati dan tidak berubah-ubah, bernaung di bawah payung Yang Maha Agung dan Ketetapan Yang Teguh. Pada penyaksian yang hakiki tidak lagi ucapan, tiada bahasa, tiada ibarat, tiada ilmu, tiada makrifat, tiada pendengaran, tiada kesadaran, tiada hijab dan semuanya sudah tiada. Tabir hijab telah tersingkap, maka Dia dipandang tanpa ibarat, tanpa huruf, tanpa abjad. Allah dipandang dengan mata keyakinan bukan dengan mata zahir atau mata ilmu atau kasyaf. Yakin, semata-mata yakin bahwa Dia yang dipandang sekalipun tidak ada sesuatu pengetahuan untuk diceritakan dan tidak ada sesuatu identifikasi untuk dipamerkan.

Orang yang memperoleh haqqul yaqin berada dalam suasana hatinya kekal bersama-sama Allah pada setiap saat, setiap ruang dan setiap kondisi. Dia kembali ke kehidupan seperti manusia biasa dengan suasana hati yang demikian, di mana mata hatinya senantiasa menyaksikan Yang Hakiki. Allah dilihat dalam dua hal yang berlawanan dengan sekali pandang. Dia melihat Allah pada orang yang membunuh dan orang yang kena bunuh. Dia melihat Allah yang menghidupkan dan mematikan, menaikkan dan menjatuhkan, menggerakkan dan mendiamkan. Tidak ada lagi perkaitannya dengan keberadaan atau ketidakwujudan dirinya. Wujud Allah Esa, Allah meliputi segala sesuatu

Wallahu ‘alam
Share this article :

1 komentar :

  1. Kang, boleh minta no hp atau WA atau pin bb, sy pny bnyak prtnyaan untuk ditanyakan.. mksh

    BalasHapus

SEMUA TULISAN / ARTIKEL DALAM BLOG INI HANYA SEBAGAI BAHAN PELAJARAN ( IHTIBAR ) KARENA ORANG PINTAR ADALAH ORANG YANG MERASA DIRINYA BODOH SEHINGGA TIDAK BERHENTI MEMBACA DAN BELAJAR

 

Copyright © 2014 Nurulhuda Gorontalo - All Rights Reserved

Design By @OnaldBau