Syahdan, pada zaman dahulu, ada seorang
kiai besar yang sangat dihormati. Orang-orang di sekitarnya memanggi Kiai Yazid
–lengkapnya Kiai Abu Yazid al-Bustami. Santrinya banyak. Mereka belajar di
bawah bimbingan Sang Guru. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia; ada yang
dari Irak, Iran, Arab, Tanah Gujarat, Negeri Pasai dan sebagainya. Mereka setia
dan tunduk patuh atas semua naSihat dan bimbingan Sang Mursyid.
Selain Kiai Yazid punya santri di
pesantrennya, banyak pula masyarakat yang menginginkan nasihat dari beliau.
Mereka pun datang dari berbagai penjuru dunia. Ada yang menanyakan tentang
perjalanan spiritual yang sedang dihayatinya, ada pula yang bertanya cara
menghilangkan penyakit-penyakit hati, bahkan tak jarang yang menginginkan usaha
mereka lancar serta keperluan-keperluan yang Sifatnya pragmatis dan teknis
lainnya. Semuanya dilayani dan diterima dengan baik oleh Sang Kiai.
Meski demikian, kadang-kadang terjadi pula
tamu yang datang dengan maksud menguji dan mencobai Sang Kiai: apakah Kiai
Yazid itu memang benar-benar waskita (tajam penglihatan mata batinnya)?
Para tamu yang datang, bukan hanya
didominasi kalangan lelaki saja, tetapi juga ada perempuan sufi yang belajar
kepadanya. Mereka ingin ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana yang dilalui Sang
Kiai. Di antara mereka ada yang berhasil, ada pula yang gagal di tengah jalan.
Semua itu, kata Kiai Yazid, memang bergantung pada ketekunannya masing-masing.
Beliau hanya mengarahkan dan membimbing; semuanya bergantung dari keputusan-Nya
jua.
Karena ke-alim-annya itu, akhirnya
masyarakat memang benar-benar menganggap bahwa Kiai Yazid adalah sosok yang
patut dijadikan tauladan atau panutan. Bukan hanya itu. Para kalangan Malamit
pun menghormati kedalaman rasa Sang Kiai. Para sufi pun banyak yang mengajak
diskusi, konsultasi, musyawarah dan membahas soal-soal spiritual yang
pelik-pelik. Nglangut. Hadir dan menghadirkan. Berpisah dan bersatu.
Kedalaman rasa Sang Kiai, misalnya, ia
bisa saja merasa kesepian atau “menyendiri” ketika berkumpul dengan orang
banyak. Di tempat lain, Sang Kiai sangat merasakan ramai, padahal ia sendirian.
Begitulah, semua rasa itu tertutup oleh penampilan beliau yang memikat,
mengayomi, melindungi, mengajar, dan gaul dengan banyak orang.
***
Pada suatu hari, Kiai Yazid sedang menyusuri sebuah jalan.
Ia sendirian. Tak seorang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti
kemauan langkah kakinya berpijak; tak tahu ke mana arah tujuan dengan pasti. Ia
mengalir begitu saja. Maka dengan enjoy-nya ia berjalan di jalan yang lengang
nan sepi.
Tiba-tiba dari arah depan ada seekor
anjing hitam berlari-lari. Kiai Yazid merasa tenang-tenang saja, tak
terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya. E?.ternyata tahu-tahu sudah
dekat; di sampingnya.
Kiai Yazid –secara reflek dan spontan–
segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak
jelas apakah karena -barangkali– merasa khawatir: jangan-jangan nanti
bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis itu!
Tapi, betapa kagetnya Sang Kiai begitu ia
mendengar Si Anjing Hitam yang di dekatnya tadi memprotes: “TUBUHKU KERING DAN
AKU TIDAK MELAKUKAN KESALAHAN APA-APA!”
Mendengar suara Si Anjing Hitam seperti
itu, Kiai Yazid masih terbengong: benarkah ia bicara padanya?! Ataukah itu
hanya perasaan dan ilusinya semata? Sang Kiai masih terdiam dengan
renungan-renungannya.
Belum sempat bicara, Si Anjing Hitam
meneruskan celotehnya:
“Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan
air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita.
Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah
sebagai seorang Parsi (kesombonganmu),
DIRIMU TIDAK AKAN MENJADI BERSIH WALAU ENGKAU MEMBASUHNYA
DENGAN TUJUH SAMUDERA SEKALIPUN!”
Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar
suara Si Anjing Hitam di dekatnya, Kiai Yazid baru menyadari kekhilafannya.
Secara spontan pula, ia bisa merasakan kekecewaan dan keluh kesah Si Anjing
Hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan
besar; ia telah menghina sesama makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas.
“Ya, engkau benar Anjing Hitam,” kata Kiai
Yazid, “Engkau memang kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah.
Karena itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua
menjadi bersih!”
Ungkapan Kiai Yazid tadi, tentu saja,
merupakan ungkapan rayuan agar Si Anjing Hitam mau memaafkan kesalahannya.
Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau
memaafkan kesalahannya itu.
“Engkau tidak pantas untuk berjalan
bersama-sama denganku dan menjadi sahabatku!
Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut
kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu,
tetapi Siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara
para mistik.
Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang
pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari!” kata Si
Anjing Hitam dengan tenang.
Kiai Yazid masih termenung dengan
kesalahannya pada Si Anjing Hitam. Setelah dilihatnya, ternyata Si Anjing Hitam
telah meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si Anjing Hitam telah
pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat hati Sang Kiai.
“YA ALLAH, AKU TIDAK PANTAS BERSAHABAT DAN
BERJALAN BERSAMA SEEKOR ANJING MILIK-MU! LANTAS, BAGAIMANA AKU DAPAT BERJALAN
BERSAMA-MU YANG ABADI DAN KEKAL?
Maha Besar Allah yang telah memberi
pengajaran kepada yang termulia di antara makhluk-Mu yang terhina di antara
semuanya!” seru Kiai Yazid kepada Tuhannya di tempat yang sepi itu.
Kemudian, Kiai Yazid dengan langkah yang
sempoyongan meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke
pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santri yang menunggu pengajarannya.
***
Keunikan dan ke-nyleneh-an Kiai Yazid memang sudah
terlihat sejak dulu. Kepada para santrinya, beliau tidak selalu mengajarkan di
pesantrennya saja, tetapi juga diajak merespon secara langsung untuk membaca
ayat-ayat alam yang tergelar di alam semesta ini. Banyak pelajaran yang didapat
para santri dari Sang Kiai; baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis
dalam hubungannya dengan ketuhanan.
Suatu hari, Kiai Yazid sedang mengajak
berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui
sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Setelah diamati
secara seksama, ternyata ia bukanlah Si Anjing Hitam yang dulu pernah
memprotesnya. Ia Si Anjing Kuning yang lebih jelek dari Si Anjing Hitam. Begitu
melihat Si Anjing Kuning tadi terlihat tergesa-gesa –barangkali karena ada
urusan penting– maka Kiai Yazid segera saja mengomando kepada para muridnya
agar memberi jalan kepada Si Anjing Kuning itu.
“Hai murid-muridku, semuanya minggirlah,
jangan ada yang mengganggu Si Anjing Kuning yang mau lewat itu! Berilah dia
jalan, karena sesungguhnya ia ada suatu keperluan yang penting hingga ia
berlari dengan tergesa-gesa,” k ata Kiai Yazid kepada para muridnya.
Para muridnya pun tunduk-patuh kepada
perintah Sang Kiai. Setelah itu, Si Anjing Kuning melewati di depan Kiai Yazid
dan para santrinya dengan tenang, tidak merasa terganggu. Secara sepintas, Si Anjing
Kuning memberikan hormatnya kepada Kiai Yazid dengan menganggukkan kepalanya
sebagai ungkapan rasa terima kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu
memang sangat sempit, sehingga harus ada yang mengalah salah satu; rombongan
Kiai Yazid ataukah Si Anjing Kuning.
Si Anjing Kuning telah berlalu. Tetapi
rupanya ada salah seorang murid Kiai Yazid yang memprotes tindakan gurunya dan
berkata: “Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala
makhluk-makhluk-Nya. Sementara, kiai adalah raja di antara kaum sufi, tetapi
dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih
memberi jalan kepada seekor anjing jelek tadi. Apakah pantas perbuatan seperti
itu?!”
Kiai Yazid menjawab: “Anak muda, anjing
tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku: “Apakah dosaku dan apakah
pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan
engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para mistik (kaum
sufi)?” Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku
memberikan jalan kepadanya.”
Mendengar penjelasan Kiai Yazid seperti
itu, murid-muridnya manggut-manggut. Itu merupakan pertanda bahwa mereka paham
mengapa guru mereka berlaku demikian. Semuanya diam membisu. Mereka tidak ada
yang membantah lagi. Mereka pun terus meneruskan perjalanannya. ***
(Inspirasi cerita: Kisah
Abu Yazid al-Busthomi, tokoh besar dari kalangan kaum MALAMIT)
0 komentar :
Posting Komentar