Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili
Ku jawab seruan hamba yang memanggil dengan namanya
Ia tidak mengira bahwa sebutan namaNya adalah juga namaKu
Namanya dan nama Diri Ku adalah satu jiwa [ruh]
Sungguh sangat menakjubkan, satu jiwa [ruh] dalam dua jisim
Setiap hamba memiliki dua nama, namun satu zat
Jika salah satu dari dua nama kau sebut, zat pasti ikut terpanggil
Zat Diri Ku adalah zatnya, nama Ku adalah namanya
Keadaan setiap hamba adalah Tunggal dengan keadaan Diri Ku
Kau akan sulit menelisik hakikat ketunggalan nama ini
Akan tetapi, seperti apa rasa jiwamu ketika kau rindu kekasihmu ?
Aku Ku adalah aku mu. Dia mu adalah dia Ku
engkau adalah Diri Ku dan Aku adalah dirimu
Ruh dirimu adalah satu dalam ketunggalan Ku
Dalam realitas wujud, tampak sendiri-sendiri
Itulah wujud dirimu, sebelum dan sesudah penciptaanmu
Sebagaimana keadaan Diri Ku, sediakala dan yang akan datang
Luhurkan ruh dirimu, akan Aku singkapkan hijab dirimu
Tirai penghalang dirimu dan Diri Ku adalah matinya Qalbumu
Saksikan Diri Ku dengan melihat kesejatian Diri Ku
Dalam setiap keindahan dan kesempurnaan, pandanglah Diri Ku
Keindahan dan kesempurnaan Diri Ku sangatlah jelas
Tradisikan semua itu dalam dirimu, engkau akan melihat Diri Ku
Khalifah hanyalah istilah untuk menamai wujud
Kekuasaan khalifah adalah Majaz, Yang Esalah Sang Penguasa
Khalifah adalah nama Kiasan dalam realitas wujud
Sejatinya Pemimpin dan Penguasa adalah Yang Maha Tunggal
Manakala Cahaya-Nya terbit terang dalam Qalbumu
Nama-namaNya akan menghiasi “laku” dirimu di realitas wujud
Sirnakan dirimu ke dalam ekstase nama-nama Diri Nya
Kau akan menjadi “landasan” Tajalli asma-asmaNya di alam ini
Dirimu sama persisnya sebelum dan sesudah penciptaanmu
Seperti halnya AdaNya, seperti sediakala dalam keazalian Diri Nya
Deburan asma-asmaNya disurung tiupan keTunggalanNya
Gulungan ombak lautan sedasyat apapun berasal dari satu samudera
Deburan air yang semburat digerakkan oleh satu gelombang
Semua gerak apapun bentuknya digerakkan oleh zat Yang Maha Esa
Wahai Ruh segala ruh, dan ayat-ayat agung,
Wahai pelipur lara setiap hati yang berduka nestapa
Wahai muara segala harapan dan cita-cita
Ujaran kalamMu sungguh sangat manis bagi diriku
Wahai Ka’bah segala hakikat dan kesucian
Wahai Arafah kegaiban, Wahai Pengkobar rindu
Kami datang kepadaMu, dengan fana’ kami
Kami tukar semua dunia kami dengan akhirat Mu
Jika bukan karena Mu, niscaya kami tidak berwujud
Andai bukan karena Mu, niscaya tidak paham kesejatian Mu
Engkau adalah muara segala keagungan dan kemuliaan
Hanya kepada Diri Mu segenap faqir memuarakan kebutuhan
Pola dan aturan zaman ini sesuai kehendakMu
Engkau adalah Maula, dan kami abdiMu
Ayunkan pedang di leher musuh-musuhMu
pedangMu lebih tajam daripada besi paling tajam
beri dan tahan rizki hambaMu, sesukaMu
agar para abdiMu, rajin dan giat mengkais rizkiMu
adakah kebahagiaan yang melebihi dekatMu ?
adakah kepedihan yang melebihi keterpalinganMu ?
Kabulkan harapan mereka yang berbakti
Tolak harapan mereka yang membangkang dariMu
Kau berkuasa memuliakan yang Kau suka
Kau berhak menista yang Kau benci dan murkai
Pengabdian yang nihil keikhlasan akan sia-sia
Ketulusan adalah kunci utama menggapai ridhaMu
Kau Maha Keras siksaMu bagi tiap pendosa
Semua pelaku kemaksiatan tidak akan lepas Dari Mu
Kau adalah Diraja segala pemilik kekuasaan
Kuasa Mu meliputi kekuasaan berdimensi kasat dan gaib
Engkau memiliki Arsy agung poros kemuliaan
Dari atas singgasana Mu Engkau atur segenap karya Mu
Jikalau inti [dzat] Al Haq termanifestasikan kepada salah satu dari hambaNya dengan sifat dari sifat-sifatNya, sebutan dan ingatan hamba tersebut selalu beredar di-falak sifatNya dengan cara Kulli [universal] dan bukan dengan cara juz’i [partular]. Kedua sifat [kulli dan juz’i] itu tidak akan mungkin dipisahkan dari diri para hamba, melainkan dengan cara global. Jika seorang hamba memujikan salah satu namaNya dan menyempurnakannya dengan harapan global, maka ia akan dapat menduduki singgasana Arsy sifat tersebut, dan ia akan disifati dengan sifatNya. Ketika hamba itu menerima sifatNya yang lain, demikian seterusnya hingga ia dapat mewadahi nama-nama Al Haq dalam dirinya, sehingga sifat-sifatNya benar-benar sempurna dalam diri hamba tersebut. Kemudian ketahuilah manakala Al Haq hendak memanifestasikan DiriNya dengan nama-nama atau sifat-sifatNya kepada salah satu hambaNya, Dia akan mensirnakan diri hamba tersebut fana’ bersama Diri Nya, Dia leburkan eksistensi [wujud] hamba itu dalam kesirnaan bersamaNya.
Manakala cahaya kehambaan telah padam, dan ruh kemakhlukan telah sirna [fana’], Al Haq akan mencitrakan DiriNya pada struktur kemanusiaan hamba tersebut, tanpa Hulul [pantaisme], inti [dzat]-Nya tidak menempati jisim [tubuh] hamba itu, kasih kelembutan-Nya tidak terpisahkan dari hamba tersebut. Dia juga tidak tersambungkan dengan hamba-Nya yang lain sebagai ganti atas peleburan dan kesirnaan struktur jisim hamba-Nya. Sebab manifestasi-Nya, kepada para hamba-Nya adalah semata-mata karena kasih Fadhal [keutamaan] dan kasih Al Juud [kepemurahan] Al Haq kepada para hambaNya. Jika para hamba itu difana’kan, lalu Dia tidak mengganti kefana’an mereka dengan kasih keutamaan dan kepemurahanNya, maka kesirnaan seperti itu adalah Niqmah [bencana]. Kasih kelembutan itu sejatinya adalah ruh Al Quddus [ruh suci]. Manakala Al Haq menegakkan kasih kelembutan dari inti [dzat]-Nya, sebagai ganti atas kefana’an hambaNya, maka manifestasi kelembutan kasih tersebut merupakan esensi tajalli DiriNya. Hanya saja kita menamakan kasih kelembutan Ilahiyah dalam dimensi ini dengan sebutan al Abd’ [hamba], dengan I’tibar ia [kelembutan kasih ini] merupakan ganti atas hamba, sebab jika tidak demikian, maka tidak akan ada hamba atau Rabb. Semantis logikanya, jika tidak ada Al Marbuub [yang diatur] maka tidak ada Rabb [pengatur], yang ada hanyalah Allah semata, Tuhan Yang Maha Esa.
Ketahuilah, bahwasanya manifestasi sifat-sifat al Haq, ibarat penerimaan inti [dzat] seorang hamba [dalam bersifat] dengan sifat-sifat ar Rabb, dengan penerimaan secara ushul [dasar] dan hukum serta mutlak, seperti penerimaan sesuatu yang disifati dengan sifat yang mensifatinya. Karena kelembutan kasih ketuhanan yang terlanskapkan pada diri seorang hamba, tegak bersama struktur diri hamba tersebut, serta merupakan ganti atas dirinya. Maka sifat-sifat ketuhanan yang melanskapi hamba tersebut, merupakan sifat dasar [ushul] dan mutlak. Manakala seorang hamba mensifati dirinya dengna sifat-sifat ketuhanan, maka sifat al Haq adalah sifat hamba tersebut dan sifat si hamba adalah sifat al Haq. Ada banyak ragam penyingkapan manusia dalam manifestasi sifat-sifat al Haq ini. Penerimaan mereka akan manifestasi tersebut tergantung dari kemampuan [kapabilitas] yang mereka miliki, sejalan dengan kapasitas keilmuan yang mereka punyai, serta kekuatan azam [hasrat kuat] yang ada pada diri masing-masing seorang hamba.
Di antara mereka yang ditajalikan kepadanya dengan sifat-sifatNya al Hayatiyah, maka jadilah hamba tersebut sentra Hayah [hidup] alam semesta, ia dapat memakrifahi rahasia hidupnya dalam Maujudat [segala wujud] secara universal, baik yang berdimensikan jasadiya [badan kasar] maupun dimensi ruhiya [ruh]. Ia bisa memahami makna-makna segala wujud dan mencitrakannya dalam dirinya, yang dengan itu tegaklah sendi-sendi hidup dan kehidupannya secara hakiki, boleh jadi citra makna-makna itu berupa al Aqwaal [perkataan-perkataan] atau al A’maal [perbuatan-perbuatan], bisa juga berupa citra dimensi kelembutan semisal al Arwah [ruh-ruh] atau citra al Katsib [alam kasar] semisal al Ajsaam [tubuh-tubuh kasar]. Lain halnya jika hidup dan kehidupan hamba tersebut mampu Syuhud [menyaksikan], mampu menggapai Dzauq al Wujdan [pengetahuan intuitif], serta mampu memahami makna-makna tersebut dalam dirinya tanpa wasilah [perantara]. Sang hamba akan mampu menggapai Kasyf Ilahiyah [intuisi ketuhanan], serta memukasyafahi inti [dzat]-Nya. Pahami dengan seksama masalah ini.
Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili, secara pribadi pernah merasakan tajalli sifat ini, yang sedemikian itu, ia menyaksikan hidup dan kehidupan segala wujud dalam dirinya. Dia melihat Qadar segala sesuatu yang maujud [ada] dalam kehidupannya, semuanya berjalan sesuai dengan kehendak inti [dzat]-Nya. Dia pada tajalli tersebut hidup esa, tidak terpisah dengna inti [dzat], hingga tangan pertolongan-Nya memindahkan diri saya dari tajalli inti [dzat]-Nya kepada tajalliyat-Nya yang lain. Sang Syekh melebur dalam manifestasi-manifestasiNya. Diantara mereka yang ditajalikan kepadanya dengan sifatNya al Ilmiyah, yang sedemikian itu, tatkala al Haq memanifestasikan Diri-Nya dengna sifat Al Hayatiyah, yang terlanskapkan dalam segala wujud. Segala al Mumkinaat [sesuatu yang mungkin]. Pada saat itu al Haq memanifestasikan Diri-Nya pada hamba tersebut dengan sifat-Nya al Ilmiyah, maka hamba itu bisa mengetahui kesejatian ragam alam [semesta] seperti sebelum dan pasca penciptaannya. Ia bisa mengetahuinya segala sesuatu, mulai pra penciptaan, prosesi penciptaan dan tujuan akhir dari penciptaan segala wujud, ia juga bisa mengetahui sesuatu yang belum dijadikan, serta ahir dari sesuatu yang telah dan akan terjadi. Ia bisa mengetahui sesuatu yang akan terjadi, esensinya pengetahuan hamba itu menembus dimensi ruang dan waktu, serta melintas batas logika. Kesemua itu merupakan ilmu yang datang dari al Haq melalui pembelajaran langsung dariNya, serta Wujdaan dari inti [dzat]-Nya yang tersimpan rapi di Ghaib al Ghaib [kegaiban misteri], bisa dimakrifahi, baik rahasia ilmuNya yang bersifat universal maupun parsial, global maupun partikular, dan untuk menguak tabir kegaiban yang misteri itu adalah dengan Kasyaf [pengetahuan intuitif].
Ketahuilah bahwasanya ilmu Laduni [ilmu yang berasal dari pembelajaran langsung dari al Haq – ref. QS Al Kahfi ayat 65], ilmu Dzati [ilmu yang terkait dengan inti [dzat]-Nya] diturunkan secara partikular dari Ghaib al Ghaib [kegaiban yang gaib], ke Syahadah asy Syahadah [realitas yang riil], bisa disaksikan rincian globalitasnya dalam kegaiban, dan bisa diketahui universalitas Kulli-nya dalam kegaiban yang gaib. Sedangkan ilmu Shifati [ilmu yang berdimensikan sifat-sifatNya], tiada akan pernah bisa diketahui, melainkan pasca terjadinya sifat tersebut dalam kegaiban yang gaib. Semua perkataan tersebut tidak akan bisa dipahami kecuali oleh al Ghuraba’ [insan-insan yang gharib], tidak ada yang bisa merasakan, kecuali para pejalan yang telah menggapai Kasyf [pengetahuan intuitif]. Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Bashar, yang sedemikian itu tatkala Dia memanifestasikan Diri-Nya kepada hamba tersebut dengan sifat al Bashariyah [penglihatan], al Ilmiyah [pengetahuan], al Ihaathiyah [peliputan] dan al Kasyfiyah [intuisi]. Dia memanifestasikan Diri-Nya kepada hambaNya dengan sifat al Bashar [melihat]. Maka penglihatan hamba itu merupakan sumber ilmunya, demikian pula dengan rujukan ilmunya bermuarakan kepada al Haq, bisa juga rujukan ilmu hamba itu dimuarakan kepada makhlukNya, namun penglihatannya bermuarakan kepada al Haq, ia dapat melihat segala wujud [Maujudaat], seperti ketika Maujudaat itu berada di kegaiban yang gaib [Ghaib al Ghaib].
Sungguh merupakan kenaifan yang sangat telanjang, banyak suatu keterpesonaan yang mentakjubkan dalam tajalli ini, namun banyak diacuhkan oleh kebanyakan orang, mereka bahkan menafikan kenyataan tersebut dalam alam asy Syahadah [alam realitas]. Cobalah anda memfokuskan diri menyaksikan pemandangan ketinggian nan agung ini, serta panorama tajalli yang terang dan jelas, betapa mentakjubkan, betapa asyiknya tajalli ini, betapa banyak keterpesonaan yang ada dalam manifestasi ini. Jangan jadikan diri anda manusia yang memiliki penglihatan sehat dan jelas, namun tidak mampu menembus pandangan yang terang dan jelas. Sebab banyak sekali para hamba yang ditajallikan sifat-sifatNya pada dirinya, namun sifat kemanusiaannya masih dominan dalam dirinya, sehingga sifat-sifat ketuhananNya terpinggirkan dari dirinya. Padahal manakala sifatNya dan sifat hamba tersebut menjadi tunggal, tidak ada dualisme sifat disitu, namun hanya sedikit sekali yang mampu memukasyafahi tajalli ini, yakni kegaibanNya tidak mampu disaksikan kehadirannya, kecuali oleh sedikit insan saja. Penampakkan al Haq pada hambaNya melalui sifatNya merupakan bentuk pemuliaan Diri kepadanya inti [dzat]-Nya, yang kehadiran-Nya adalah kegaiban hamba-Nya dan kegaibannya adalah kehadiran al Haq.
Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-sifatNya as Sam’u yang dengan itu hamba tersebut dapat mendengar perkataan al jamadaat [benda-benda padat], tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, serta perkataan para malaikat dan bisa menyimak ungkapan multi bahasa serta ujaran-ujaran makhluk yang lain. Demikian pula sesuatu yang jauh bagi hamba itu terasa dekat, yang sedemikian itu, tatkala al Haq memanifestasikan DiriNya dengan sifatNya as Sam’u, hamba tersebut bisa mendengar dengan kekuatan ke-Esa-an sifat tersebut ragam bahasa, multi ujaran komunikasi benda-benda padat dan hewan-hewan. Dalam etos tajalli ini Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili telah menyimak ilmu Rahmaniyah dari ar Rahman, telah belajar membaca Al Quran secara hakiki, beliau pun merasa tidak lebih dari sebuath ar Rithlu [delapan ons] sedangkan DIA adalah al Mizaan [neraca timbangan]. Realita ini tidak bisa dipahami, kecuali oleh ahli Qur’an yang merupakan ahli keilahian yaitu insan-insan khawas [golongan istimewa] yang menjadi kekasihNya. Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Kalaam, yang dengan itu semua Maujudaat [segala wujud], berasal dari Kalaam hamba tersebut, sebab tatkala al Haq memanifestasikan DiriNya, kepada hamba itu melalui sifatNya al Hayatiyah. Kemudian Dia mengajari hamba itu dengan sifat ‘AliimNya, bahwa segala rahasia hidup dan kehidupan berasal dari DiriNya, lalu Dia memperlihatkan dan memperdengarkan hamba itu dengan sifat al Bashar dan as Sam’u-Nya berikut dengan kekuatan ke-Esa-an hidup. Dia jadikan hamba itu berbicara dengan Kalam-Nya, jadilah segala wujud dair kalamNya. Saat itulah sang hamba menyaksikan dengan kalamNya, dalam capaian spiritual ini keazalian segala sesuatu seperti sedia kala, kalimatnya tiada akan pernah habis dan tidak pula berakhir.
Dengan tajalli ini al Haq beraudiensi dengan hambaNya tanpa Hijab [tirai penghalan] nama-nama pra penampakannya. Di antara para audien tersebut ada yang bisa beraudiensi dengna inti [dzat]-Nya dari dalam dirinya, ia menyimak pembicaraan yang datang bukan dari salah satu arah tertentu, bukan pula dengan suara, penyimakannya akan ujaran-ujaran tersebut secara ke-universal-an dan bukan dengan telinga. Dikatakan kepada hamba tersebut :
kau adalah cinta Ku, kau adalah kekasih Ku, kau adalah insan yang dicari dan diharapkan, kau adalah wajah Ku pada segenap hamba, kau adalah harapan utama, kau adalah pencarian tertinggi, kau adalah rahasia Ku dalam segala rahasia, kau adalah cahaya Ku dalam segala cahaya, kau adalah permata Ku, kau adalah perhiasan Ku, kau adalah keindahan Ku, kau kesempurnaan Ku, kau nama Ku, kau inti [dzat]-Ku, kau sifat Ku. Aku adalah namamu, Aku adalah citramu, Aku adalah tandamu, Aku metaformu. Duhai kekasihKu, kau adalah penolong segala wujud, kau adalah maksud dari segala wujud dan Huduts [kebaruan]. Dekatkan dirimu kepada penyaksianKu, maka Aku akan dekatkan diriKu kepadamu dengan wujudKu, jangan kau jauhkan dirimu dari Ku, sebab Akulah yang berfirman : “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” [QS Qaaf (50) ayat 16].
Jangan kau belenggu dirimu dengan isim [nama] seorang hamba, kalau bukan karena adanya Rabb, maka tidak akan pernah ada ‘Abd [hamba]. kau tampakkan Diri Ku, seperti Aku tampakkan dirimu, kalau bukan karena ubudiyah [ritus peribadatan]mu, niscaya tidak akan tertampakkan Rububiyah [ketuhanan] Ku, kau menjadikan Diri Ku tertajallikan, seperti halnya Aku menjadikan dirimu, kalau bukan karena wujudmu, maka wujud tajalli Ku tidak tersibakkan, cinta Ku paling dekat dari segala yang terdekat. Cinta Ku paling tinggi dari segala yang tertinggi, cinta Ku menghendaki dirimu untuk pensifatan Diri Ku. Aku pilih dirimu untuk Diri Ku, jangan kau keluarkan dirimu untuk selain Diri Ku, jangan keluarkan Diri Ku dari dirimu. Cinta Ku adalah sari dalam buah, cinta Ku adalah garam dalam makanan. Imajinasi Ku dalam ke-absurd-an, logikamu dalam pengetahuan. Cinta Ku, menjadikan Diri Ku terasa dalam jangkauan inderawi, membuat Ku tersentuh dalam sentuhan. Kekasih Ku, kau adalah muara harapan Ku, sentra penglihatan Ku, media kasih kelembutan Ku. Betapa indah kebersamaan Ku denganmu, betapa syahdu keintimanmu dengan Diri Ku.
Di antara para audien itu ada yang diajak bicara al Haq melalui lisan makhluk [ciptaan]Nya, ia menyimak pembicaraan dari satu arah tertentu, akan tetapi ia sangat mafhum [faham], bahwa ungkapan itu bukan keluar dari arah tersebut, meski berwujud ungkapan yang keluar dari lisan makhlukNya. Ia bisa memakrifahi sejatinya perkataan tersebut berasal dari al Haq adapun ragam pembicaraannya sangatlah banyak, yang tidak mungkin kita rinci dalam karya ini. Diantara para audien itu ada yang dilanglang buanakan al Haq dari alam jisim ke alam ruh, audiensi bentuk ini merupakan tingkatan tertinggi. Di antara para audien itu ada yang diajak bicara al Haq melalui hatinya, di antara mereka ada yang diterbangkan dengan ruhnya ke lapisan pertama langit dunia, ada pula yang diterbangkan dengna ruhnya ke langit lapis kedua dan ketiga, diantara mereka ada yang diterbangkan ke Sidratul Muntaha, dan diajak bicara disana. Tingkat pembicaraan masing-masing insan yang diajak bicara al Haq tersebut, tergantung daripada kemampuan mereka memasuki dan memakrifahi dunia hakikat, sebab al Haq tidak akan meletakkan sesuatu melainkan pada tempatnya.
Pada saat pembicaraaan itu, di antara mereka ada yang diberikan contoh [permisalan] cahayaNya yang dengan itu ia menjadi sumber segala cahaya, di antara mereka ada yang dinisbatkan kepadanya menjadi al Munir [yang menerangi] bersumberkan cahayaNya. Di antara mereka ada bisa melihat cahayaNya dalm batinnya, yang dengan itu ia bisa mendengar pembicaraan dari arah cahaya Ilahiyah [ketuhanan] tersebut, ia bahkan bisa melihat ragam cahaya ketuhanan dengan berbagai citra. Di antara mereka ada yang melihat citra ruh, yang memanggil-manggil dirinya, kesemua itu tidak dinamakan al Khitab [pembicaraan], kecuali jika diberitahu al Haq bahwasanya Dia-lah sejatinya al Mutakallim [Sang Pembicara]. Kalamullah, adalah sebuah realita yang sangat nyata, tidak membutuhkan dalil untuk mengetahuinya, bahwa kekhususan Kalamullah tidak samar [tersembunyi]. Orang seorang yang menyimak Kalamullah tidak menghajatkan dalil maupun keterangan, terlebih al Burhan [aksioma], sebab dengan penyimakan tersebut sang penyimak memakrifahi [memahami] dengan penuh keyakinan bahwasanya Kalam [ujaran] itu adalah Kalamullah. Di antara yang diajak bicara itu ada yang diangkat ke Sidratul Muntaha, al Haq berbicara kepadanya :
KekasihKu, ke-aku-anmu adalah ke-Dia-an Ku, kau adalah permata Ku. Kekasih Ku, ke-universal-anmu adalah ke-Esa-an Ku, engkaulah harapan Ku, Aku adalah untukmu bukan untuk Diri Ku, kau adalah yang Ku inginkan, kau untuk diri-Ku bukan untuk dirimu. Cinta Ku ... kau adalah nuqta [titik], di atas peredaran wujud, kau adalah cahaya. Kau adalah manifestasi, kau adalah kebaikan, kau adalah perhiasan, laksana mata dalam struktur tubuh manusia.
Diantara para audien itu ada yang dipanggil, melalui dimensi kegaiban, serta dapat mengerti warta-warta sebelum terjadi, yang sedemikian itu terjadi karena permintaan mereka kepada al Haq untuk diberitahu, dan Diapun mewartakan ujaran-ujaran tersebut. Di antara mereka ada meminta karamah [kelebihan], al Haq pun memuliakannya dengan karamah, sebagai dalilnya untuknya jika kembali ke alam indrawi, serta untuk mengeksiskan capaian spiritual [maqom] nya di hadapan al Haq. Kita cukupkan paparan perihal al Mukallimin [insan yang diajak bicara] al Haq sampai disini. Kita kembali ke pokok kajian manifestasi sifat-sifatNya.
Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-sifatNya al Iradah. Ketahuilah bahwasanya wajah kehidupan makhluk adalah sejalan dengan iradah [kehendak] al Haq, manakala Dia bermanifestasikan dengan sifat al Mutakallim [berbicara], Dia beraudiensi dengan ke-Esa-an al Mutakallimin [ujaran-ujaran]Nya kepada segenap makhlukNya, al Mutakallimin [para audiens]-pun menyimak ajaran-ajaranNya sejalan dengan kehendakNya.
Mayoritas para insan yang telah Wushul [sampai] pada tajalli ini, kembali mundur ke belakang. Mereka mengingkari al Haq dengan apa yang mereka lihat, yang sedemikian tatkala al Haq mempersaksikan kepada mereka dengan kesaksian inti [dzat] bahwa segala sesuatu berjalan dengan IradahNya di alam Ghaib Uluhiyah [ketuhanan]. Mereka lantas mencari penyaksian tersebut dalam diri mereka di alam realita ini, jelas realita itu mustahil terjadi di alam Syahadah [alam realita] ini, karena hal itu merupakan kekhususan dua inti [dzat]. Mereka lalu mengingkari kesaksian inti itu, yang menyebabkan mereka melangkah mundur, dan hancurlah kaca kalbu mereka, lantas mengingkari al Haq. Padahal mereka telah menempuh raihan Syuhud [penyaksian], serta hilang [gaib] sesudah wujud.
Diantara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Qudrah, segala sesuatu terjadi dengan qudrahNya di alam gaib, Dia menampakkan contoh-contoh produk kegaiban tersebut di alam kasat mata ini. Jika seorang hamba terus intensif memelihara tajalli ini, maka capaian spiritualnya akan meningkat, akan ditampakkan kepadanya segala sesuatu yang disembunyikan-Nya.
Pada tajalli ini Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili telah mendengar Shalsahalah al Jaros [bunyi lonceng], struktur tubuh beliau terpencar, citranya semburat, namanya terhapus, karena keterpesonaan [Haybah] nya yang amat sangat, beliau seperti kain koyak yang tergantung di puncak pohon, dihempas angin kencang, lambat laun terlempar dari pohon tersebut. Pada kondisi spiritual seperti itu, beliau tidak melihat, melainkan Buraq, awan putih yang kemilau yang mengguyurkan hujan cahaya-cahaya, serta samudera yang berombak api, bumi dan langit ini serasa berbenturan, beliau merasa berada di kegelapan yang gelapnya berlapis-lapis. Qudra itu terus menciptakan untuk dirinya kekuatan-kekuatan Haybah [kedasyatan], Qudra itu membakar dirinya dengan nafsu-nafsu, hingga Sang Maha Perkasa membawanya ke hanggar keilahian, tampak keindahan yang terindah dalam teropong lubang jarum imajinasi, semburat semua khayal. Imajinasi menari-nari membentangkan karya ciptaan dan asumsi beliau menari-nari ingin merentah dirinya, pada waktu itu terciptalah segala sesuatu. Setelah beliau kembali kepada rasi-rasi bintang [falaq] al Mulk kekuasaan-Nya, tiba-tiba terdengar suara keilahian :
“wahai langit dan bumi, datanglah kamu keduanya menurut perintahKu, dengan suka hati atau terpaksa.” [QS Fushilat (41) : 11]
Di antara wajah manifestasi [Tajalli as Shifat] ini adalah, polarisasi obsesi manusia-manusia yang bercita-cita besar, wajah tajalli ini terwajahkan dalam dunia imajinasi, terdapat di dalamnya kreasi imajinatif yang penuh dengan keghariban dan keajaiban. Tajalli ini juga menampakkan sihir kelas tinggi, dalam manifestasi ini : penghuni surga berbuat apa saja yang mereka kehendaki, juga keajaiban benih yang ada di tanah yang dipakai menciptakan Adam as, seperti yang telah disebutkan Ibnu Arabi dalam kitab beliau. Dalam tajali ini : manusia yang berjalan di atas air, terbang di udara, mampu menjadikan sesuatu menjadi banyak, dan banyak menjadi sedikit, dan banyak lagi panorama kejadia luarbiasa dengan segala wacana dan dimensinya. Janganlah kalian menjadi heran, sebab semua kejadian yang ada, sejatinya adalah satu macam, namun memiliki ragam wajah, kenyataan itu melahirkan dimensi kebahagiaan dan kepedihan, seorang yang bisa memaknai secara hakiki akan bahagia, insan yang menafikan dan tidak menemukan makna hakiki akan sedih. Pahami seksama metafora dan isyarat yang ada.
Kami telah berusaha memaparkan paradoks, metafor-metafor, isyarat-isyarat yang berserak dari realita yang ada dengan kemampuan kami, karena kedalaman rahasia yang tersimpan di dalamnya memerlukan tafakur yang optimal untuk menyingkapnya. Jika nantinya anda benar-benar mampu menggapai capaian pemahaman hakiki dalam tajalli ini, anda akan mampu menyibak rahasia Qudrah yang terhijab dan tersimpan. Pada khazanah capaian ini, anda bisa berkata kepada sesuatu : Kun [jadilah] Fa Yakun [maka jadilah] sesuatu yang anda ujarkan tersebut, itulah sejatinya amar-Nya yang terdapat di antara Kaf dan Nun.
Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya ar Rahmah, yang sedemikian itu setelah dinisbatkan kepadanya Arsy ketuhanan [Rububiyah], dan dikuasakan kepadanya sifat RabbNya, diletakkan kepadanya Kursi kemampuan Maujudaat [segala wujud] dengan mediasi hamba tersebut, itulah sejatinya Kursi inti [dzat]-Nya, penggerak sifat-sifatNya, ia melantunkan ayat-ayat :
“Katakanlah : Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang-orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau masukkan siang ke dalam malam, Engkau keluarkan hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup, dan Engkau beri rizki siapapun yang Engkau kehendaki tanpa hisab.” [QS Ali Imran (3) ayat 26-27].Kesemua itu di alam gaib-Nya tersucikan dari keraguan, serta sebuah kemestian yang tak terbantahkan, disinilah esensi perbedaan di antara dua sifat dan dua inti [dzat]. Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Uluhiyah, dalam tajalli ini berkumpul dua sifat yang bertolak belakang, semisal hitam putih, lapang sempit, termasuk juga alam kerendahan dan alam ketinggian. Pada fase ini nama dan sifat tak terlogikan, kulit dan isi telah terkupas, segala sesuatu terlihat : “Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun, dan didapatinya ketetapan Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup.” [QS An Nur (24) ayat 39] diperlihatkan kiri dan kanannya serta dibacakan kitabnya : “Dan dikatakan : Binasalah orang-orang yang zalim.” [QS Hud (11) ayat 44]
Ketahuilah bahwasanya Cahaya itu sejatinya adalah kitab yang tertulis, memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki, seperti yang ditegaskan al Haq dalam firman Qur’ani : “Banyak orang yang disesatkan, dan banyak pula orang yang diberi petunjuk.” [QS Al Baqarah (2) ayat 26].
Ketahuilah tiada jalan menuju-Nya tanpa Cahaya, dan ia [Nur] merupakan Shiratullah [jalan Allah]. Seseorang yang berjalan di bawah CahayaNya, akan beroleh petunjuk, sedang yang berjalan dengan selain CahayaNya akan sesat.
Sekilas Otobiografi :
Syeikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili terlahir dari klan keluarga sufi agung Syeikh Abdul Qadir Al Jailaini, pada tahun 767H [1366 M] di pemukiman yang bernama Al Jailan, salah satu distrik di kota Bagdad, Irak. Beliau wafat pada tahun 826H atau 1424 M di kota Zabidah, Yaman. Beliau adalah seorang pengembara sejati yang telah berkelana ke berbagai negara. Beliau adalah “penggila” ilmu pengetahuan. Beliau dikenal sebagai sosok penuntut ilmu yang giat, pakar ilmu Geografi, Pedagogi Ilmu Filsafat, Ilmu Logika, Grametika dan Rahasia Huruf, Perbandingan Agama dan Ilmu-ilmu lain yang sedang mewacana di anak zamannya, dan masyur sebagai intelektual nomor wahid. Ia telah mengkaji semua kitab-kitab suci dan aqidah-aqidah agama, sangat mahir bersemantis logika, pembicaraannya sangat tertata, tutur katanya lembut, logikanya sangat teratur, sikapnya sangat santun, ia bersedia belajar kepada siapa saja, selama melahirkan kontribusi positif bagi pengetahuan dirinya dan mendekatkan dirinya kepada Allah. Beliau juga populer sebagai pakar studi ilmu perbandingan agama. Di hadapan pemeluk agama lain, beliau mampu menunjukkan kesejatian Islam, hingga tidak sedikit orang yang memaklumatkan keislamannya di hadapan Al Jaili.
0 komentar :
Posting Komentar