Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin Al-Huwairits RA. Beliau wafat di negeri Syam pada tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdilmalik.
Abdullah
bin Muhammad berkata, “Aku keluar menuju tepi pantai dalam rangka untuk
mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan musuh)…tatkala aku
tiba di tepi pantai, tiba-tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang
di suatu tempat (di tepi pantai) dan di dataran tersebut terdapat
sebuah kemah yang di dalamnya ada seseorang yang telah buntung kedua
tangan dan kedua kakinya, dan pendengarannya telah lemah serta matanya
telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun yang bermanfaat baginya
kecuali lisannya, orang itu berkata, “Ya Allah, tunjukilah aku agar
aku bisa memuji-Mu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas
kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan Engkau
sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau
ciptakan”“
Abdullah
bin Muhammad berkata, “Demi Allah aku akan mendatangi orang ini, dan
aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini,
apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya itu?, ataukah
ucapannya itu merupakan ilham yang diberikan kepadanya?.
Maka akupun mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu kukatakan kepadanya, “Aku mendengar engkau berkata “Ya
Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa
menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau
anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas
kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan“, maka nikmat manakah
yang telah Allah anugerahkan kepadamu sehingga engkau memuji Allah atas
nikmat tersebut?? dan kelebihan apakah yang telah Allah anugerahkan
kepadamu hingga engkau mensukurinya??”
Orang
itu berkata, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan oleh
Robku kepadaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar kepadaku
hingga membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung untuk
menindihku hingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk
menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka
tidaklah hal itu kecuali semakin membuat aku bersyukur kepadaNya, karena
Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidah (lisan)ku ini.
Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku maka aku perlu
bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk
membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak
bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku,
di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia
menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan aku minum, namun sudah tiga
hari ini aku kehilangan dirinya. Maka tolonglah aku, carilah kabar
tentangnya –semoga Allah merahmati engkau-”.
Aku
berkata, “Demi Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan
seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi
Allah, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk
menunaikan keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau”.
Maka
akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari
situ aku sampai di suatu gundukan pasir. Tiba-tiba aku mendapati putra
orang tersebut telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas. Akupun
mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji’uun. Aku berkata,
“Bagaimana aku mengabarkan hal ini kepada orang tersebut??”. Dan tatkala
aku tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku
kisah Nabi Ayyub ‘alaihi as-Salam. Lalu aku menemui orang
tersebut dan akupun mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab salamku
dan berkata, “Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?”, aku
berkata, “Benar”. Ia berkata, “Bagaimana dengan permintaanku kepadamu
untuk membantuku?”.
Akupun berkata kepadanya, “Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub ‘alaihis Salam?”, ia berkata, “Tentu Nabi Ayyub ‘alaihis Salam “,
aku berkata, “Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada
Nabi Ayyub?, bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya,
keluarganya, serta anaknya?”, orang itu berkata, “Tentu aku tahu”. Aku
berkata, “Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?”, ia
berkata, “Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah”.
Aku
berkata, “Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan
sahabat-sahabatnya”. Ia berkata, “Benar”. Aku berkata, “Bagaimanakah
sikapnya?”, ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah”. Aku
berkata, “Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan
gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal
itu?”, ia berkata, “Iya”, aku berkata, “Bagaimanakah sikap nabi Ayyub?”
Ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah, langsung saja
jelaskan maksudmu –semoga Allah merahmatimu-!!”.
Aku
berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan
pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas,
semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau”.
Orang itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan api neraka”, kemudian ia berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun“, lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal dunia.
Aku berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun“,
besar musibahku, orang seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka
akan dimakan oleh binatang buas, dan jika aku hanya duduk maka aku tidak
bisa melakukan apa-apa. Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada
di tubuhnya dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis.
Tiba-tiba
datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku “Wahai Abdullah, ada
apa denganmu?, apa yang telah terjadi?”. Maka akupun menceritakan kepada
mereka apa yang telah aku alami. Lalu mereka berkata, “Bukalah wajah
orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!”, maka akupun membuka wajahnya,
lalu merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua tangannya,
lalu mereka berkata, “Demi Allah, matanya selalu tunduk dari melihat
hal-hal yang diharamkan oleh Allah, demi Allah tubuhnya selalu sujud
tatkala orang-orang dalam keadaan tidur!!”.
Aku
bertanya kepada mereka, “Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati
kalian-?”, mereka berkata, Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu ‘Abbas, ia
sangat cinta kepada Allah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu kamipun memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami
pakai, lalu kami menyolatinya dan menguburkannya, lalu merekapun
berpaling dan akupun pergi menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan.
Tatkala
tiba malam hari, akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia berada
di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga
sambil membaca firman Allah
}سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ| (الرعد:24)
“Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran kalian, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. 13:24)
Lalu
aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?”,
ia berkata, “Benar”, aku berkata, “Bagaimana engkau bisa memperoleh ini
semua”, ia berkata, “Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat
kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap
sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa syukur tatkala dalam
keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa takut kepada Allah baik
dalam keadaan bersendirian maupun dalam kaeadaan di depan khalayak
ramai”
…
Hal
ini karena biasanya daerah perbatasan jauh dari keramaian manusia, dan
kemungkinan Abdullah tidak membawa peralatan untuk menguburkan orang
tersebut, sehingga jika ia hendak pergi mencari alat untuk menguburkan
orang tersebut maka bisa saja datang binatang buas memakannya, Wallahu
a’lam
Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Abdilmuhsin Firanda dari Kitab Ats-Tsiqoot karya Ibnu Hibban, tahqiq As-Sayyid Syarofuddin Ahmad, terbitan Darul Fikr, (jilid 5 halaman 2-5)
0 komentar :
Posting Komentar