Lelaki itu berasal dari keturunan yang baik. Ayahnya adalah Zarih bin Amush yang nasabnya sambung-menyambung sampai kepada Ishaq bin Ibrahim, Nabiyullah yang dimuliakan. Namanya diabadikan dalam Al-Qur’an. Hidupnya menjadi teladan abadi bagi generasi yang datang sesudahnya. Siapa saja yang ingin menelusuri hidup seorang anak keturunan Adam yang diuji dengan cobaan hebat, maka bacalah hikayat hidupnya. Lelaki itu -yang tutur katanya santun dan perangainya lembut-, adalah Ayyub ‘alaihissalam.
Semula ia dilimpahi kekayaan, memiliki binatang ternak yang banyak jumlahnya, tanah pertanian yang membentang, dan anak keturunan yang sangat banyak. Lalu ujian pun menghampiri. Kekayaannya diambil dan ia ditimpa penyakit yang menggerogoti seluruh bagian tubuhnya, sampai mengeluarkan bau yang menyengat. Anak-anak serta saudaranya meninggalkannya. Ia dikucilkan. Hanya tinggal istrinya yang setia merawatnya dan dua saudaranya yang selalu menjenguknya tiap pagi dan petang.
Di sinilah teladan itu bermula. Seperti yang diriwayat oleh Al-Sadi, suatu saat istrinya berkata kepada Ayyub, “Seandainya engkau berdo’a memohon kepada Tuhanmu, niscaya Dia akan menyembuhkanmu.” Apakah Ayyub mengiyakan perkataan istrinya? Ternyata tidak. Dengan santun ia balas perkataan istrinya, “Aku telah menjalani hidup selama tujuh puluh tahun dalam keadaan sehat, maka terlalu pendek bagi Allah jika harus bersabar untuk-Nya selama tujuh puluh tahun”. Dan terperangahlah istrinya mendengar perkataan Ayyub.
Inilah logika iman. Akal yang dikuatkan oleh iman yang tulus akan selalu mencari pembenaran atas ketentuan Allah. Ia diawali dari prasangka yang baik kepada Allah. Sebab setiap ketentuan dan ketetapan-Nya atas seorang mukmin adalah baik. Beda halnya jika akal dimenangkan oleh nafsu. Ia akan sering bertanya ‘mengapa’. Pertanyaan “mengapa Allah menimpakan ujian ini?” akan sering berkelebat dalam benak mereka yang tidak sabar akan ketetapan Allah.
Lihatlah Ayyub ‘alaihissalam. Meski penyakit memayahkan fisiknya, ia sama sekali tak menyalahkan Allah. Ia juga tak pernah menisbatkan keburukan itu kepada-Nya, meski ia tahu bahwa tidak ada penyakit melainkan datangnya dari Allah. “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang diantara semua penyayang”, ujar Ayyub. Renungkanlah bagaimana ia memilih kalimat yang baik dan santun kepada Allah. Inilah adab yang tinggi yang ditunjukkan Ayyub ‘alaihissalam. Padahal saat seorang hamba diuji dengan sakit, itu adalah waktu dimana godaan-godaan untuk melontarkan perkataan buruk terasa begitu kuat. Tapi Ayyub tidak tergoda. Lalu Allah memuliakannya, tidak hanya di hadapan penduduk bumi tetapi juga di mata penghuni langit.
Ayyub ‘alaihissalam adalah teladan. Allah abadikan kisahnya dalam Al-Qur’an (Surah Shaad). Seakan-akan Allah hendak menunjukkan sebuah teladan kesabaran tingkat tinggi bagi kita yang diuji. Bagi saudara-saudara kita yang hari ini sedang diuji dengan sakit, bersabarlah. Semoga Allah memenangkan jiwamu agar tetap sabar menerima ujian-Nya. Semoga Allah menjaga lisanmu agar selalu mengalirkan kalimat-kalimat yang baik nan santun. Semoga Allah jernihkan hatimu agar selalu berprasangka baik kepada Ar-Rahman.
Bagi kita yang masih diberi kesehatan, semoga cuplikan kisah Ayyub membuat kita bersiap diri saat kelak Allah cabut nikmat sehat. Mari berfigur kepada Ayyub ‘alaihissalam.
0 komentar :
Posting Komentar