Bagi pendosa yang jahat, aku mungkin terlihat jahat. Tetapi bagi yang baik, betapa luhurnya aku. (Mirza Khan, Anshari)
Meskipun
Ibnu Arabi dicintai oleh semua Sufi, mempunyai banyak pengikut pribadi
dan menjalankan fungsi teladan kehidupan, tidak diragukan ia merupakan
suatu ancaman bagi kalangan formalis. Seperti al-Ghazali, kekuatan
intelektualnya lebih unggul dari semua orang sezamannya yang lebih
konvensional (di bidang pemikiran). Alih-alih menggunakan berbagai
kemampuan ini untuk mengukir satu tempat dalam skolastisisme, ia
menyatakan — seperti banyak Sufi lainnya — bahwa jika seseorang memiliki
intelek yang kuat, fungsi terakhirnya adalah memperlihatkan bahwa
intelektualitas hanyalah suatu sarana pengantar kepada sesuatu yang
lain. Sikap ini bukan suatu kesombongan — apalagi kalau kita benar-benar
bertemu dengan orang semacam ini dan mengetahui kerendahan hatinya.
Banyak
orang bersimpati kepadanya, tetapi tidak berani mendukungnya, sebab
mereka bekerja pada tataran formal, sementara ia bekerja pada tataran
rahasia. Seorang alim yang terhormat menurut riwayat mengatakan, “Aku
sama sekali tidak meragukan bahwa Muhyiddin (Ibnu Arabi) adalah seorang
pembohong besar. Ia adalah pemuka kalangan ahli bid’ah dan seorang Sufi
yang tidak tahu malu.” Akan tetapi seorang teolog besar, Kamaluddin Zamlaqani menegaskan, “Betapa
bodohnya mereka yang menentang Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi!
Pernyataannya yang sublim dan tulisannya yang bernilai itu terlalu
tinggi bagi pemahaman mereka.”
Dalam
sebuah kesempatan yang masyhur, guru pembaharu Syekh Izuddin ibnu
Abdussalam sedang memimpin sekelompok murid mempelajari fiqih. Selama
berlangsung suatu diskusi, pertanyaan tentang definisi bid’ah muncul.
Seorang murid menyebut Ibnu Arabi sebagai contoh utama. Sang guru tidak
menyanggah penegasan ini. Kemudian ketika makan malam dengan guru ini,
Salahuddin yang pada masa selanjutnya menjadi Syekh al-Islam, bertanya
kepadanya, siapakah alim paling terkemuka pada masanya:
“Ia
menjawab, ‘Menurut Anda siapa? Teruslah makan.’ Aku menyadari bahwa ia
tahu. Aku berhenti makan dan menekannya untuk menjawab pertanyaanku
dengan menyebut nama Allah. Ia tersenyum dan berkata, ‘Syekh Muhyiddin
Ibnu Arabi.’ Untuk sesaat aku terkejut sehingga tidak bisa berkata-kata.
Syekh itu bertanya kepadaku tentang keadaanku saat itu. Kujawab, ‘Aku
heran, sebab pada pagi ini seseorang mengatakan bahwa ia adalah ahli
bid’ah. Pada saat itu, Anda justru tidak menyanggahnya. Sekarang Anda
menyebut Muhyiddin sebagai Wali al-Quthb di Zaman Ini, manusia teragung yang pernah hidup, guru dunia’.”
“Ia
mengatakan, ‘Kala itu aku berada di tengah-tengah pertemuan para ulama,
para fuqaha’.” (Kisah ini bisa di baca di buku Mahkota Sufi: Menembus
Dunia Ekstra Dimensi karya Idries Shah/media.isnet.org)
Sikap
Syekh Izuddin ibnu Abdussalam dalam riwayat di atas adalah bentuk dari
sikap bijaksana seorang ulama. Ketika orang menghujat Ibnu ‘Arabi dengan
tuduhan sebagai orang utama ahli bid’ah, Beliau hanya diam. Beliau diam
karena menyadari yang sedang membahas tentang Ibnu ‘Arabi adalah orang
yang hanya memahami agama secara formalitas dan seandainya Syekh Izuddin
membela Ibnu ‘Arabi saat itu tentu akan menimbulkan perdebatan.
Semoga Kisah di atas bermanfaat untuk kita semua, amin ya Rabbal ‘Alamin!
0 komentar :
Posting Komentar