Al-Hasan rahimahullah mengatakan,
“sesungguhnya seorang hamba senantiasa akan berada dalam kebaikan selama
dia masih memiliki ‘penasihat’ dari dalam hatinya dan ber-muhasabah menjadi salah satu agenda yang paling ia tekuni.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha karya Imam Ibnu Abi ad-Dunya, hal. 25)
Mutharrif bin Abdillah rahimahullah berkata, “kalau bukan karena apa-apa yang aku ketahui dari diriku [hawa nafsu dan dosa, pent] niscaya aku akan menemui orang-orang.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 72)
Mutharrif bin Abdillah rahimahullah berkata pada saat berada di padang Arafah, “Ya Allah, janganlah Engkau tolak [doa] semua orang gara-gara adanya diriku.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 72)
Ayub as-Sakhtiyani rahimahullah mengatakan, “apabila sedang diceritakan mengenai orang-orang salih, maka aku merasa diriku sangat jauh dari keadaan mereka.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 76)
Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “apabila seorang memasuki waktu pagi maka berkumpullah hawa nafsu dan amalnya. Jika amalannya tunduk mengikuti hawa nafsunya maka hari itu adalah hari yang buruk. Dan jika hawa nafsunya tunduk mengikuti amalannya maka hari itu adalah hari yang baik.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 109)
Malik bin Mighwal rahimahullah menceritakan, “dahulu ada seorang lelaki yang menangis lalu keluarganya/istrinya pun berkata kepadanya: ‘Seandainya kamu telah membunuh seseorang kemudian kamu datangi keluarganya seraya menangis niscaya mereka pun akan memaafkanmu’. Maka lelaki itu berkata: ‘Sesungguhnya yang telah aku binasakan adalah diriku sendiri.’.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 110)
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan maksud ayat (yang artinya), “janganlah kalian membunuh diri-diri kalian” beliau mengatakan, “Artinya janganlah kalian melalaikan diri kalian sendiri.” Lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang lalai dari dirinya sendiri -tidak menjaga dan mengawasinya, pent- sesungguhnya dia telah membunuhnya.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 113)
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata, “dahulu dikatakan; tidaklah hamba-hamba memuliakan dirinya dengan sesuatu yang lebih agung daripada ketaatan kepada Allah, dan tidaklah mereka menghinakan diri dengan sesuatu yang lebih rendah daripada kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla. “ (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 113)
Al-Hasan rahimahullah berkata, “seorang mukmin adalah tawanan di dunia. Dia terus berusaha untuk membebaskan tengkuknya dari perbudakan [kepada selain Allah, pent]. Ia tidak bisa merasa aman dari sesuatu apapun, sampai bertemu dengan Allah tabaraka wa ta’ala.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 122)
Abul Hajjaj al-Mahdi rahimahullah berkata, “barangsiapa yang meletakkan syahwatnya di bawah kedua telapak kakinya niscaya setan akan pergi meninggalkan bayang-bayangnya.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 126)
Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah berkata, “tidak masalah bagiku kehilangan seekor ayam, karena aku bisa mencarinya. Akan tetapi yang menjadi masalah bagiku apabila ketinggalan sholat [jama'ah], karena aku tidak bisa mencarinya [karena sudah berlalu waktunya, pent]?” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 702)
Abu Hazim rahimahullah berkata, “perhatikanlah apa-apa yang kamu sukai akan bersamamu kelak di akhirat maka persiapkanlah ia sejak sekarang. Dan perhatikanlah apa-apa yang tidak kamu sukai bersamamu kelak di akhirat, kemudian tinggalkanlah ia sekarang.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 703)
Sahl bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “seorang mukmin adalah orang yang selalu merasa diawasi oleh Rabbnya, berusaha untuk terus mengintrospeksi dirinya, dan dia membekali diri untuk menyambut hari saat ia kembali kepada-Nya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 711)
Mahfuzh bin Mahmud rahimahullah berkata, “janganlah kamu menimbang orang lain dengan timbanganmu, akan tetapi timbanglah dirimu dengan timbangan kaum mukminin, niscaya kamu akan mengetahui keutamaan mereka dan kebangkrutan dirimu.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 713)
Abu Syaudzab rahimahullah menceritakan, “suatu ketika Yunus bin ‘Ubaid dan ‘Aun berkumpul dan saling mengingat seputar hal-hal yang halal dan haram. Kemudian setiap orang diantara mereka berdua pun mengatakan: ‘Aku tidak tahu di antara hartaku ini apakah ada satu keping dirham yang [benar-benar] halal.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 714)
Al-Hasan rahimahullah berkata, “semoga Allah merahmati seorang hamba. Apabila muncul keinginan untuk melakukan sesuatu, maka dia pikirkan terlebih dahulu. Apabila hal itu murni karena Allah maka dia lanjutkan, namun apabila bukan karena itu maka ia tunda.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 470)
Al-Hasan rahimahullah juga berkata, “seorang mukmin itu adalah pemimpin dan panglima atas dirinya, oleh sebab itu ia selalu berusaha untuk meng-introspeksi dirinya.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 471)
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “seandainya setiap kali usai melakukan maksiat seorang insan melemparkan ke dalam rumahnya sebuah batu, niscaya rumahnya akan penuh dengan batu dalam jangka waktu yang singkat. Akan tetapi kenyataannya orang cenderung bermudah-mudahan, sehingga ia terus ‘memelihara’ maksiat-maksiat, padahal maksiat-maksiat itu dicatat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menghitung/mencatatnya, namun mereka jutsru melupakannya.” (QS.al-Mujadilah: 6).” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 472)
Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu berkata, “barangsiapa yang marah kepada dirinya sendiri [hawa nafsu] karena Allah maka Allah akan memberikan keamanan kepadanya dari murka-Nya.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 475).
—
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel Muslim.Or.Id
Mutharrif bin Abdillah rahimahullah berkata, “kalau bukan karena apa-apa yang aku ketahui dari diriku [hawa nafsu dan dosa, pent] niscaya aku akan menemui orang-orang.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 72)
Mutharrif bin Abdillah rahimahullah berkata pada saat berada di padang Arafah, “Ya Allah, janganlah Engkau tolak [doa] semua orang gara-gara adanya diriku.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 72)
Ayub as-Sakhtiyani rahimahullah mengatakan, “apabila sedang diceritakan mengenai orang-orang salih, maka aku merasa diriku sangat jauh dari keadaan mereka.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 76)
Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “apabila seorang memasuki waktu pagi maka berkumpullah hawa nafsu dan amalnya. Jika amalannya tunduk mengikuti hawa nafsunya maka hari itu adalah hari yang buruk. Dan jika hawa nafsunya tunduk mengikuti amalannya maka hari itu adalah hari yang baik.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 109)
Malik bin Mighwal rahimahullah menceritakan, “dahulu ada seorang lelaki yang menangis lalu keluarganya/istrinya pun berkata kepadanya: ‘Seandainya kamu telah membunuh seseorang kemudian kamu datangi keluarganya seraya menangis niscaya mereka pun akan memaafkanmu’. Maka lelaki itu berkata: ‘Sesungguhnya yang telah aku binasakan adalah diriku sendiri.’.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 110)
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan maksud ayat (yang artinya), “janganlah kalian membunuh diri-diri kalian” beliau mengatakan, “Artinya janganlah kalian melalaikan diri kalian sendiri.” Lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang lalai dari dirinya sendiri -tidak menjaga dan mengawasinya, pent- sesungguhnya dia telah membunuhnya.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 113)
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata, “dahulu dikatakan; tidaklah hamba-hamba memuliakan dirinya dengan sesuatu yang lebih agung daripada ketaatan kepada Allah, dan tidaklah mereka menghinakan diri dengan sesuatu yang lebih rendah daripada kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla. “ (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 113)
Al-Hasan rahimahullah berkata, “seorang mukmin adalah tawanan di dunia. Dia terus berusaha untuk membebaskan tengkuknya dari perbudakan [kepada selain Allah, pent]. Ia tidak bisa merasa aman dari sesuatu apapun, sampai bertemu dengan Allah tabaraka wa ta’ala.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 122)
Abul Hajjaj al-Mahdi rahimahullah berkata, “barangsiapa yang meletakkan syahwatnya di bawah kedua telapak kakinya niscaya setan akan pergi meninggalkan bayang-bayangnya.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 126)
Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah berkata, “tidak masalah bagiku kehilangan seekor ayam, karena aku bisa mencarinya. Akan tetapi yang menjadi masalah bagiku apabila ketinggalan sholat [jama'ah], karena aku tidak bisa mencarinya [karena sudah berlalu waktunya, pent]?” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 702)
Abu Hazim rahimahullah berkata, “perhatikanlah apa-apa yang kamu sukai akan bersamamu kelak di akhirat maka persiapkanlah ia sejak sekarang. Dan perhatikanlah apa-apa yang tidak kamu sukai bersamamu kelak di akhirat, kemudian tinggalkanlah ia sekarang.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 703)
Sahl bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “seorang mukmin adalah orang yang selalu merasa diawasi oleh Rabbnya, berusaha untuk terus mengintrospeksi dirinya, dan dia membekali diri untuk menyambut hari saat ia kembali kepada-Nya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 711)
Mahfuzh bin Mahmud rahimahullah berkata, “janganlah kamu menimbang orang lain dengan timbanganmu, akan tetapi timbanglah dirimu dengan timbangan kaum mukminin, niscaya kamu akan mengetahui keutamaan mereka dan kebangkrutan dirimu.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 713)
Abu Syaudzab rahimahullah menceritakan, “suatu ketika Yunus bin ‘Ubaid dan ‘Aun berkumpul dan saling mengingat seputar hal-hal yang halal dan haram. Kemudian setiap orang diantara mereka berdua pun mengatakan: ‘Aku tidak tahu di antara hartaku ini apakah ada satu keping dirham yang [benar-benar] halal.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 714)
Al-Hasan rahimahullah berkata, “semoga Allah merahmati seorang hamba. Apabila muncul keinginan untuk melakukan sesuatu, maka dia pikirkan terlebih dahulu. Apabila hal itu murni karena Allah maka dia lanjutkan, namun apabila bukan karena itu maka ia tunda.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 470)
Al-Hasan rahimahullah juga berkata, “seorang mukmin itu adalah pemimpin dan panglima atas dirinya, oleh sebab itu ia selalu berusaha untuk meng-introspeksi dirinya.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 471)
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “seandainya setiap kali usai melakukan maksiat seorang insan melemparkan ke dalam rumahnya sebuah batu, niscaya rumahnya akan penuh dengan batu dalam jangka waktu yang singkat. Akan tetapi kenyataannya orang cenderung bermudah-mudahan, sehingga ia terus ‘memelihara’ maksiat-maksiat, padahal maksiat-maksiat itu dicatat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menghitung/mencatatnya, namun mereka jutsru melupakannya.” (QS.al-Mujadilah: 6).” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 472)
Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu berkata, “barangsiapa yang marah kepada dirinya sendiri [hawa nafsu] karena Allah maka Allah akan memberikan keamanan kepadanya dari murka-Nya.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 475).
—
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar :
Posting Komentar