Kuda Musa makin lama makin kurus dan sakit. Istri Musa sudah cerewet sekali menyuruh agar segera dijual saja. Tapi Musa sendiri begitu sayang kepada kuda yang telah banyak jasanya itu. Namun akhirnya luluh juga hatinya setelah kuda itu kelihatan sangat lemah dan sakit-sakitan.
Pada
suatu pagi, berangkatlah suami istri itu menuju pasar. Mereka menuntun
kudanya bergantian. Lantaran jarak dari rumahnya ke pasar di Kota Basrah
cukup jauh, Musa yang kurus, sudah terengah-engah napasnya. Bahkan
terdengar bunyi ‘ngik-ngik’ dari hidungnya. Sementara istrinya, karena
badannya yang sangat tambun hampir saja jatuh pingsan karena penat.
Dalam keadaan seperti itu, beberapa orang kampung lewat dan memandangi
mereka dengan kasihan. Salah seorang dari mereka bertanya. ‘’Mau dibawa
ke mana kuda itu?”. Musa menjawab. ‘’Ke Basrah.”
‘’Itu
kuda hidup atau kuda mati?’’ Mendengar itu, Musa heran. ‘’Tidak kalian
lihat kuda ini masih bisa jalan?’’. ‘’Kalau kuda hidup mengapa dituntun?
Mestinya kan dinaiki saja bergantian, biar tidak capek!’’
Musa
dan istrinya berhenti, lalu berpikir. ‘’Betul juga,’’ ujarnya. Maka
Musa menyuruh istrinya menaiki kuda itu, dia yang menuntun dari depan.
Baru
beberapa meter mereka berjalan, muncul lagi tiga orang kampung yang
datang dari kebun. Mereka geleng-geleng kepala sambil bergumam. “Huh,
dasar istri tak tau diri. Mana baktinya kepada suami yang kurus begitu?
Dia yang gemuk macam genderang Persi, enak-enak saja duduk. Sedangkan
suaminya yang kurus kering dibiarkan mati kepenatan. Durhaka.’’
Mendengar
omongan orang-orang kampung, istri Musa segera turun. ‘’Bang, engkau
saja yang naik, biar aku saja yang jalan,’’ kata istrinya. Musa
kegirangan. Memang dia sudah kelelahan. Dengan cepat dinaikinya kuda itu
dan giliran si istri menuntun dari depan.
Belum
sempat hilang penatnya, lewat lagi beberapa orang kampung. Laki-laki
yang tua berkata. ‘’Huh, suami keparat. Istrinya yang jalannya
mengengsot seperti siput laut disuruh menuntun kuda. Sementara dia
ongkang-ongkang kaki di atasnya. Barangkali di rumahnya jadi raja, raja
terhadap istrinya.’’
Musa sambil
menunduk, mendengarkan ocehan orang-orang itu. Begitu mereka sudah
berlalu, dia turun dan kebingungan. ‘’Kenapa serba salah? Jadi harus
bagaimana? Ah, ya, kita naiki saja berdua,’’ ujar Musa pada istrinya.
Dengan gembira suami-istri itu naik bersama-sama ke atas punggung kuda.
‘’Rasanya aman sudah sekarang,’’ ujarnya.
Namun
tiba-tiba mereka terkejut mendengar bentakan hebat. ‘’Hai, manusia
kejam! Itu kuda kan sudah hampir mampus. Jalan sendiri saja tidak kuat.
Dia, kan juga makhluk Allah. Kalian ini manusia, punya akal dan
perasaan. Di mana kau taruh ibamu, manusia kejam?’’
Musa
melihat, yang membentak itu adalah seorang pembesar negeri. Maka
cepat-cepat mereka turun. Dipandanginya kuda itu. Betul juga kalau
hampir mati. Tapi bagaimana caranya membawa ke pasar Basrah? Dituntun
salah, dinaiki sendiri dimarahi orang, istrinya yang naik kurang ajar,
dinaiki berdua jadi kejam. Lantas bagaimana?
Memandangi
suaminya sedang kebingungan, istri Musa lalu memberi saran. ‘’Kita
gotong saja Bang.’’ Ah. Betul,’’ seru Musa kegirangan. ‘’Engkau memang
pintar, Halimah,’’ kata Musa.
Maka
kuda itu pun akhirnya diikat pada sebatang kayu, dan digotong ke pasar
Basrah. Menjelang masuk pintu kota, lewat beberapa orang pedagang.
Dengan bengong mereka menyaksikan suami-istri menggotong seekor kuda.
‘’Kelihatannya kuda itu masih cukup sehat,’’ ujar salah seorang pedagang
kepada temannya. Kemudian orang itu menyapa Musa. ‘’Kuda itu sudah
lumpuh?’’ Mendengar yang bertanya itu pedagang, Musa buru-buru
menyangkal. '‘Tidak, kuda ini masih kuat lari.'’
‘’Masih
kuat lari? Aneh. Kuda masih kuat lari digotong-gotong seperti itu.
Dasar dunia sudah terbalik. Mengapa tidak dituntun saja, sehingga bapak
dan ibu tidak capek seperti itu? Huh dasar kurang waras.’’
Habis
kesabaran Musa dan istrinya. Selalu salah saja yang ditemuinya
sepanjang jalan. Maka dilemparkannya kuda itu ke pinggir jalan, dan
mereka pulang dengan sia-sia. Itulah keputusan yang diambilnya,
keputusan paling bodoh akibat tidak percaya kepada pendiriannya sendiri.
Karena
itu, kalau mempunyai suatu niat, perbuatlah dengan segera, asalkan
tidak bertentangan dengan syariat agama. Jangan terombang-ambing karena
omongan orang. Kerjakan sampai selesai, sampai tercapai cita-cita.
0 komentar :
Posting Komentar